REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Kampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan bahwa keberadaan ruang terbuka hijau atau hutan kota di DKI Jakarta masih jauh dari standar. Hingga saat ini, kata Aminullah, persentase ruang terbuka hijau di ibu kota masih di sekitaran 5 persen, di mana idealnya adalah 30 persen.
Ketimpangan ini, menurut Aminullah, membuat hutan kota yang ada belum cukup efektif dalam menyerap emisi gas rumah kaca dan mengatur suhu perkotaan. Terlebih, kata dia, tidak semua polutan di udara Jakarta bisa diserap oleh pohon.
“Jadi jelas belum efektif, karena dari apa yang kami amati pun masih sangat timpang jumlahnya. Idealnya itu 30 persen lahan di DKI Jakarta difungsikan sebagai ruang terbuka hijau atau hutan kota, tapi sampai saat ini baru sekitar 5 persen. Sangat jauh dari kebutuhan,” kata Muhammad Aminullah saat dihubungi Republika, Selasa (6/2/2024).
Ia kemudian menanggapi rencana pemerintah DKI Jakarta yang akan menambah tiga hutan kota pada 2024 yang berlokasi di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Menurut Aminullah, penambahan tiga hutan kota itu masih belum memenuhi standar ideal. Terlebih, belum lama ini dua ruang terbuka hijau yaitu RTH Kayu Putih di Pulo Gadung dan RTH Kebon Torong di Glodok malah digusur dan dialihfungsikan.
“Pemprov mau nambah hutan kota, tapi RTH di Kayu Putih dan Kebon Torong malah digusur dan dialihfungsikan menjadi Puskesmas. Memang betul puskesmas itu penting, tapi RTH juga sama-sama penting. Seharusnya Puskesmas diperbanyak, RTH juga diperbanyak,” tegas Aminullah.
Berbicara terkait bagaimana pembangunan hutan kota yang ideal, Aminullah mengungkap beberapa kriteria. Pertama, dalam pemilihan lokasi sebaiknya di tempat yang lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi air limpasan dan mencegah banjir.
Kedua, 70 persen hutan kota harus bisa menyerap air. “Jadi jangan sampai hutan kota itu malah full beton atau permukaannya padat. Karena hutan kota itu kan fungsinya untuk menjadi penyeimbang lingkungan,” tegas Aminullah.
Selain itu, pemilihan pohon-pohon dan tanaman yang akan ditanami di hutan kota juga harus disesuaikan. Misalnya, pemerintah memilih pohon-pohon yang dapat difungsikan untuk menyerap emisi dan polusi, dan sebagainya.
“Hutan kota juga lokasi harus dekat dengan transportasi umum. Karena akan kontradiktif jika warga yang datang ke sana masih menggunakan kendaraan pribadi. Yang seharusnya menjadi kawasan hijau, malah tidak,” tegas dia.