REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat media baru sekaligus dosen komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Dr. Prabu Revolusi menilai bahwa gerakan petisi yang diinisiasi beberapa guru besar dari berbagai perguruan tinggi tidak elok. Karena terkesan mencampuradukan kampus dengan kepentingan politik.
“Sangat tidak elok ketika kampus dicampuradukan dengan kepentingan politik. Apalagi tidak secara resmi mewakili kampus. Jika memang gerakan-gerakan itu mewakili kampus maka perlu ada lembaga yang resmi dari kampus untuk bisa menyatakan bahwa ini merupakan sikap dari kampus,” kata Prabu Revolusi dalam rilisnya, Selasa (6/2/2024).
Ia juga menuturkan bahwa dalam berpendapat, civitas akademika harus mengindahkan etika dan berkata apa adanya jika memang tidak mewakili kampus.
“Seyogyanya kita sebagai civitas akademika harus juga mengindahkan etika dalam menyampaikan pendapat. Jika pendapat pribadi atau sekumpulan orang yang memiliki pendapat yang sama, katakan apa adanya jangan mengatasnamakan kampus kecuali memang ada sikap resmi dari kampus,” ujar dia.
Sebelumnya, gerakan petisi dari para guru besar ini awal mulanya datang dari para civitas di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 31 Januari 2024 melalui Petisi Bulaksumur. Kemudian diikuti sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.