Selasa 13 Feb 2024 12:42 WIB

Pemimpin Ideal

Dr Ahmad Faizal Adha, S.H.I M.Ag Dosen Fakultas Hukum Unisba

Dr Ahmad Faizal Adha, S.H.I M.Ag Dosen Fakultas Hukum Unisba
Foto: Dok Republika
Dr Ahmad Faizal Adha, S.H.I M.Ag Dosen Fakultas Hukum Unisba

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Indonesia, saat ini sedang memasuki masa pemilihan presiden untuk masa kerja 2024-2029. Seluruh masyarakat memiliki harapan yang sama. Yaitu, Indonesia bisa menjadi Negara yang lebih baik, ditandai dengan meningkatnya kemakmuran seluruh masyarakat, kebutuhan tercukupi, tersedianya pekerjaan yang layak dan memiliki pemimpin yang bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakat. 

Namun dalam prosesnya, masyarakat memiliki berbagai pandangan terkait pemimpin yang didambakan. Pandangan masyarakat terhadap pemimpin di Indonesia sangatl ah bervariasi. Tergantung, pada berbagai faktor. Seperti, latar belakang politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Di antara pandangan-pandangan yang mungkin ada sesuai dalam ilmu antropologi ialah : Pendukung setia, Pengkritik, Netral/Apatis, Agamis, Etnis, feminis dan liberalis. 

Baca Juga

Namun, yang akan pasti sangat mencolok adalah pandangan agamis. Hal ini, berdasarkan kepada jumlah populasi masyarakat muslim di Indonesia yang mencapai prosentase 86,7 persen di tahun 2023. Pemimpin dalam hal ini presiden menurut masyarakat muslim adalah hal yang krusial. Pemimpin tidak bisa dipisahkan dari agamanya. 

Bahkan, dalam Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi calon presiden yaitu: bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa pandangan masyarakat yang utama terhadap pemimpin adalah pandangan agamis.

Ada empat kriteria menurut mata kuliah Hukum Konstitusi Negara Islam terkait pemimpin yang ideal. Pertama, Patuh terhadap hukum islam. Kriteria ini, mencakup pemahaman yang mendalam tentang hukum Islam dan kemampuan untuk mengimplementasikannya dalam kebijakan dan tindakan pemerintahan. 

Kedua, Adil. Pemimpin yang dipilih harus adil dan memiliki semangat pelayanan kepada rakyat. Kriteria ini menekankan pentingnya keadilan sosial dan perlakuan yang setara terhadap seluruh warga negara. Ketiga, Integritas. Integritas adalah landasan utama bagi seorang pemimpin. Mereka harus memimpin dengan moralitas tinggi, menjauhi korupsi, dan berkomitmen untuk menjadi teladan bagi masyarakat. 

Keempat, Syura. Prinsip syura menekankan pada pentingnya konsultasi dalam pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum membuat keputusan penting.

Salah satu contoh pemimpin muslim yang sesuai dengan kriteria tersebut adalah Umar bin Khattab. ia adalah salah satu khalifah terkemuka dalam sejarah Islam yang dikenal dengan keadilan dan integritasnya. Pertama, Umar bin Khattab memastikan bahwa hukum Islam diterapkan dengan adil di seluruh wilayah kekhalifahan. Beliau menegakkan hukum dengan tegas, tetapi selalu berlandaskan keadilan dan kebijaksanaan. 

Keputusan-keputusan Umar selalu berfokus pada kesejahteraan rakyat dan kepentingan umum. Kedua, Umar bin Khattab adalah pemimpin yang sangat peduli pada kesejahteraan rakyat. Beliau memastikan bahwa semua warga negara memiliki hak-hak dasar yang terjamin, termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan. 

Selain itu, Umar bin Khattab terkenal dengan praktik syura dalam pengambilan keputusan. Beliau selalu melibatkan para sahabat dan tokoh masyarakat dalam proses musyawarah sebelum mengambil keputusan besar.

Pemimpin yang sesuai dengan kriteria dalam mata kuliah Hukum Konstitusi Negara Islam di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba), akan selalu patuh dan paham terhadap hukum islam, adil, berintegritas, dan selalu bermusawarah. 

Kisah sukses seperti kepemimpinan Umar bin Khattab memberikan inspirasi bagi generasi sekarang untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya ketika menjadi pemimpin atau bisa menjadi referensi dalam pemilihan calon pemimpin yang saat ini akan dipilih. Wallaahu a’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement