Selasa 20 Feb 2024 06:27 WIB

Filipina Gandeng Amerika Hadapi Cina di Laut Cina Selatan

Filipina memenangkan putusan arbitrase internasional melawan Cina pada 2016.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Setyanavidita livicansera
Kapal rumah sakit Cina, Daishan Dao-866 (kiri) berada di Teluk Jakarta, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kehadiran kapal Cina, Daishan Dao-866 di Teluk Jakarta itu dalam rangka port visit atau kunjungan pelabuhan dan sudah diterima langsung oleh pimpinan dari dua satuan TNI Angkatan Laut. Rencananya kapal tersebut akan melanjutkan kegiatan pengobatan yang masih harus menunggu izin dari Kementerian Kesehatan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kapal rumah sakit Cina, Daishan Dao-866 (kiri) berada di Teluk Jakarta, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kehadiran kapal Cina, Daishan Dao-866 di Teluk Jakarta itu dalam rangka port visit atau kunjungan pelabuhan dan sudah diterima langsung oleh pimpinan dari dua satuan TNI Angkatan Laut. Rencananya kapal tersebut akan melanjutkan kegiatan pengobatan yang masih harus menunggu izin dari Kementerian Kesehatan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Profesor Renato Cruz De Castro dari the International Studies Department di De La Salle University yang berbasis di Manila mengungkapkan, mayoritas masyarakat Filipina memberi dukungan penuh pada pemerintah dalam menangani persengketaan klaim maritim dengan Cina di Laut Cina Selatan (LCS). Dia pun menjelaskan bagaimana Manila menggandeng Amerika sebagai sekutu guna menghadapi Beijing.

“Tentu saja, sebagian besar warga Filipina mendukung posisi kuat Pemerintah Filipina dalam menghadapi ekspansi maritim Cina di LCS,” kata De Castro saat berpartisipasi dalam diskusi publik bertajuk “What’s Going On with the Philippines, the United States, and China?” yang digelar secara virtual oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Senin (19/2/2023) malam.

Baca Juga

Pada kesempatan itu, De Castro turut memaparkan tentang strategi pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. dalam menghadapi Cina. De Castro mengungkapkan, ketika Marcos Jr. dilantik pada 2022, dia menginginkan kebijakan seimbang terhadap Cina.

“Tentu saja, langkah pertama adalah melanjutkan hubungan ekonomi dengan Cina, dan langkah lainnya adalah memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini tentu saja terhambat oleh retorika dan upaya mantan presiden Rodrigo Duterte untuk menjauhkan Filipina dari AS pada awal masa jabatannya pada 2016,” ucap De Castro.

Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina diketahui berupaya menjalin hubungan lebih dekat dengan Beijing. Namun De Castro menilai, Duterte baru menyadari kebijakannya “keliru” pada akhir masa jabatannya. Sebab, meski memiliki hubungan hangat, hal itu tak memperlunak Cina dalam mempertahankan klaimnya di LCS.

“Pada Februari 2020, setelah, tentu saja, dia (Duterte) membatalkan Visiting Forces Agreement dengan AS, terjadi insiden antara fregat Filipina dan korvet Cina yang mengarahkan sistem kendali senjatanya,” ujar De Castro.

Menurut De Castro, Presiden Ferdinand Marcos Jr memetik pelajaran dari tindakan Duterte. “Dia (Marcos) pada dasarnya mengambil pelajaran dari pendahulunya bahwa memenuhi tuntutan Cina tidak akan berhasil. Jadi pendekatannya, tentu saja, adalah kebijakan yang seimbang, melibatkan Cina dalam hubungan ekonomi, dan menjaga aliansi erat dengan AS,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, Marcos Jr pertama kali bertemu Presiden Cina Xi Jinping di Bangkok, Thailand, pada November 2022. Kala itu, Xi menyampaikan bahwa persengketaan klaim di LCS seharusnya tidak mempengaruhi hubungan antara Beijing dan Manila. Hal itu pun disampaikan ketika Marcos Jr berkunjung ke Beijing.

Namun De Castro menilai komentar Xi hanya sebuah retorika. Sebab di lapangan, kapal angkatan laut Cina dan Filipina masih kerap terlibat gesekan serta ketegangan.

Hal itu mendorong pemerintahan Marcos Jr merapat ke Negeri Paman Sam. “Masalahnya di sini bukanlah Filipina yang membuat pilihan. Cinalah yang mendorong Filipina ke dalam pelukan AS,” kata De Castro.

Dia mengungkapkan, pada November tahun lalu, Filipina dan AS menggagas kerja sama maritim, termasuk patroli gabungan antara angkatan laut kedua negara. “Yang sangat menarik adalah setiap kali kita melakukan kegiatan kerja sama maritim itu, ada tamu tak diundang berupa Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (Cina) yang menyaksikan apa yang terjadi saat kedua sekutu tersebut pada dasarnya sedang melakukan latihan militer,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Southeast Asia Program and Asia Maritime Transparency Initiative di CSIS Washington DC, Greg Poling, bersepakat dengan pemaparan dan penjelasan De Castro. Poling mengungkapkan, sejak dekade 1990-an, AS konsisten dalam isu LCS. Dia menyebut Washington memiliki dua kepentingan nasional dalam persengketaan klaim di LCS.

Kepentingan pertama terkait dengan mempertahankan kebebasan laut. Artinya aturan atau hukum yang mengatur ruang maritim. Hal itu pula yang menjadi alasan negara-negara Eropa memberi perhatian pada isu LCS.

Itu sebabnya Filipina sekarang memperoleh dukungan lebih dari 20 negara pada tahun ini yang menyerukan kepatuhan terhadap putusan arbitrase 2006. Filipina juga memenangkan putusan arbitrase internasional melawan Cina pada 2016.

Putusan itu menganulir klaim kedaulatan Cina atas sebagian besar wilayah LCS. Kendati demikian Beijing menolak mematuhi putusan tersebut. “Jadi kepentingan AS adalah pada kemampuan Filipina menangkap ikan atau Indonesia dalam memanfaatkan blok tuna, dan juga pada kemampuan Angkatan Laut AS untuk berlayar melalui LCS,” kata Poling.

Sementara kepentingan kedua AS terkait isu LCS adalah komitmen aliansi. Poling mengatakan, AS mendukung Filipina sebagai sekutunya. “Negara ini mempunyai kewajiban hukum dan moral terhadap Filipina berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual Defense Treaty). Hal ini menjadikan hubungan AS-Filipina unik, unik di antara seluruh hubungan AS di Asia Tenggara,” ucapnya.

Dia menambahkan, sejak 2019, AS, yang kala itu dipimpin Donald Trump, telah berulang kali secara eksplisit menyatakan bahwa Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama berlaku di LCS. “Tidak ada pertanyaan di sini. Dikatakan bahwa setiap serangan terhadap angkatan bersenjata Filipina di mana pun di Pasifik akan memicu kewajiban pertahanan bersama. LCS jelas berada di Pasifik,” kata Poling.

“Jadi jika kita semua ingin menghindari konflik antara AS dan Cina, itu berarti kita harus mencegah segala agresi terhadap Filipina. Kedua kepentingan tersebut, komitmen aliansi kami dengan Filipina serta komitmen jangka panjang kami untuk membebaskan lautan, adalah alasan AS tetap terlibat di LCS,” tambahnya.

Pada 25 Desember 2023, People’s Daily, media corong Partai Komunis Cina, menulis bahwa Filipina, dengan dukungan AS, terus memprovokasi Beijing dengan perilaku “sangat berbahaya”. Cina menuduh Manila secara serius membahayakan perdamaian dan stabilitas regional.

Cina diketahui mengklaim sebagian besar LCS sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim Cina di LCS. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement