REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI diproyeksikan bisa menembus level harga Rp 2.700 per lembar saham, seiring manajemen perseroan yang menjaga kinerja fundamental emiten bersandi BRIS itu tumbuh berkelanjutan.
Analis pasar modal dari BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano dalam risetnya yang dipublikasikan belum lama ini menjelaskan, proyeksi target harga Rp 2.700 untuk saham BRIS karena mempertimbangkan pertumbuhan BSI ke depan.
Secara fundamental BSI memiliki pertumbuhan pembiayaan di atas rerata industri. Kemudian, pendanaan BSI berbiaya lebih murah. Perseroan pun mampu melakukan efisiensi biaya yang semakin baik. “Dengan faktor tersebut kami memperkirakan pertumbuhan laba bersih per saham mencapai 15 persen per tahun untuk 2024-2025,” papar Victor dalam risetnya, Kamis (22/2/2024).
Adapun saham BRIS menjadi one of the best performer stock secara year to date (ytd) karena tumbuh 42,53 persen hingga perdagangan Selasa (20/2/2024). Pada hari yang sama, saham BRIS sempat menembus rekor level harga tertinggi baru yaitu Rp 2.500. Kendati demikian, BRIS pada perdagangan Selasa ditutup di level Rp 2.480 dan mendorong kapitalisasi pasar atau market cap BSI menjadi Rp 114,4 triliun.
"Kenaikan saham BRIS sejalan dengan market yang juga hijau di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 7.352,6 atau terapresiasi 0,77 persen,’’ kata Rizky Budinanda Head of Investor Relation PT Bank Syariah Indonesia Tbk menjelaskan secara terpisah.
Indeks Financial pada periode hari yang sama juga positif dengan pertumbuhan 1,24 persen dan secara ytd sektor finansial telah tumbuh 5,11 persen. Selain itu, terdapat pula foreign inflow dengan posisi net buy mencapai Rp 1,41 triliun. Investor asing tercatat telah melakukan net buy selama delapan hari perdagangan berturut-turut sejak 6 Februari 2024 dengan total sekitar Rp 12,12 triliun.
Adapun aliran dana asing ke bursa juga telah terlihat sejak awal tahun dengan total mencapai Rp 22,3 triliun. Kondisi market tersebut juga tecermin di dalam komposisi kepemilikan saham institusi di saham BSI yang diperdagangkan mendominasi dengan angka 76,2 persen di mana sekitar 48 persen merupakan kepemilikan saham oleh institusi asing.
Kinerja saham BRIS yang menghijau ini juga sejalan dengan kinerja fundamental industri perbankan nasional yang moncer sepanjang 2023, termasuk BSI. Hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari kinerja fundamental induk usaha BRIS, yaitu BMRI yang mencatatkan laba bersih Rp 55,06 triliun. BBRI sebesar Rp 60,1 triliun dan BBNI Rp 21 triliun.
Semenatara BRIS seperti diketahui pada 2023 membukukan laba Rp 5,7 triliun. Dengan demikian, BRIS pun semakin mendapatkan kepercayaan investor, terlebih dari luar negeri. Di mana net buy foreign terhadap BRIS pada periode perdagangan yang sama menembus Rp 45,07 miliar.
Rizky pun menyebut, dengan level tersebut, maka harga baru BRIS telah melewati target price (TP) konsensus para analis pasar modal yang dirangkum Bloomberg yaitu sebesar Rp 2.475. Bahkan sebanyak 12 lembaga analis yang menerbitkan coverage mengenai BRIS, telah merekomendasikan beli atas saham BSI.
“TP konsensus tersebut telah naik dari sebelumnya sekitar Rp 2.100 di mana upgrade TP tersebut sejalan dengan makin kuatnya kinerja BSI. Terutama setelah publikasi laporan keuangan (kinerja fundamental) pada 1 Februari 2024,” kata Rizky.
Kenaikan harga saham BRIS juga sejalan dengan pertumbuhan saham bank besar seperti BBCA yang naik 1,52 perse, BBRI yang naik 3,28 persen, BBNI yang naik 2,55 persen sementara BMRI berada dalam posisi sideway ditutup pada harga Rp 7.150 pada periode yang sama.
“Oleh karena itu saham BRIS kini telah menjadi portofolio yang dimiliki oleh investor selain saham empat bank besar tersebut,” lanjut Rizky.
Seperti diketahui, dengan raihan bottom line pada 2023 menempatkan BSI di peringkat kelima bank dengan laba terbesar di Tanah Air, dari total bank nasional yang telah memublikasikan kinerja keuangannya. BSI merupakan emiten bank yang mencatatkan pertumbuhan laba signifikan pada 2023 yaitu 33,8 persen dengan total aset Rp 353,62 triliun.