REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan keberadaan pondok pesantren berkorelasi positif dengan inklusi keuangan di Indonesia.
Direktur Kebijakan Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Pengembangan Regional BRIN Yurike Patrecia Marpaung mengatakan ada 40 ribuan pesantren dengan jumlah santri 4,5 juta jiwa dan 270 ribuan ustadz per Juli 2023.
"Pondok pesantren sangat berpotensi untuk membantu mencapai target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada tahun 2024 dari angka 85 persen hasil survei Otorita Jasa Keuangan (OJK) terbaru," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Yurike menuturkan puluhan ribu pondok pesantren itu berada di 366 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah itu diproyeksikan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Sinergi dan kolaborasi lintas lembaga mulai dari Balai Latihan Kerja (BLK), Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK), Rumah Produksi Bersama hingga BUMDes sangat diperlukan mengingat sebagian besar pondok pesantren berlokasi di desa dengan status berkembang, tertinggal, dan sangat tertinggal.
Menurut dia, sebaran pondok pesantren dengan lembaga ekonomi berada di Jawa Barat dengan jumlah 809 unit. Adapun provinsi dengan pondok pesantren yang punya lembaga ekonomi paling sedikit berada di Papua Barat karena tidak ada sama sekali.
"Usaha-usaha yang bisa dimunculkan untuk menaikkan inklusi keuangan justru dari non-keuangan mulai dari konsumsi, produksi, jasa maupun pemasaran," kata Yurike.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa usaha-usaha jenis itulah yang dekat dengan pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan, jika melihat dari jasa keuangan, bentuknya berupa koperasi simpan pinjam berbasis syariah, bisa juga bentuk lainnya seperti Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Faktor lain yang juga tidak kalah penting untuk meningkatkan inklusi keuangan adalah pemanfaatan teknologi perbankan.
BRIN melihat adanya peluang pemanfaatan teknologi perbankan terutama di provinsi yang punya UMKM banyak. Namun, pemanfaatan teknologi perbankan masih rendah.
Beberapa contoh daerah yang mengalami kondisi itu adalah Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Tenggara.
"Kendala yang ditemui dalam peningkatan inklusi keuangan salah satunya adalah masih lemahnya semangat kewirausahaan di masyarakat sekitar pondok pesantren, khususnya transformasi fase dari wirausaha pemula ke wirausaha mapan," papar Yurike.
BRIN mengusulkan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu pelatihan teknis dan manajemen kewirausahaan bagi lembaga ekonomi dan masyarakat sekitar pondok pesantren melalui kerja sama dengan Rumah Produksi Bersama.
Lalu, membangun keterkaitan proses bisnis produksi, distribusi, dan konsumsi antara lembaga ekonomi pondok pesantren dan masyarakat sekitar.
Sedangkan, usul terakhir adalah peningkatan afirmasi produk layanan dan jasa lembaga ekonomi dan masyarakat sekitar pondok pesantren terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah, termasuk BUMD dan BUMDes.