REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Palestina pada Selasa (12/3/2024) menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu merintangi upaya komunitas internasional dan Amerika Serikat (AS) untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. "Netanyahu dan staf militernya mengancam menginvasi Rafah tanpa memedulikan seruan komunitas internasional dan AS agar masyarakat sipil terlindungi dan kebutuhan hidup dasarnya terpenuhi," kata Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya.
Hal tersebut menunjukkan, Israel berniat meneruskan genosida dan pemindahan paksa serta menghalangi pengiriman bantuan untuk rakyat Palestina. Khususnya mereka yang terancam kelaparan di Gaza utara, menurut pernyataan otoritas Palestina.
Agresi militer Israel ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 31.200 warga Palestina dan mencederai lebih dari 72.900 orang lainnya. Israel juga melakukan blokade total terhadap Jalur Gaza sehingga menyebabkan warga di sana, khususnya yang bertahan di Gaza utara, terancam kelaparan.
Pada Selasa (12/3/2024), sebuah kapal dengan muatan bantuan kemanusiaan berupa 200 ton makanan dari organisasi kemanusiaan international Open Arms dari Spanyol dan World Central Kitchen dari AS, berlayar dari Siprus ke Jalur Gaza. "Koridor bantuan kemanusiaan maritim ke Jalur Gaza terbuka melalui misi yang sangat kompleks ini, yang kami harapkan menjadi perintis dalam upaya meringankan bencana kemanusiaan yang dihadapi warga (Gaza)," kata pihak Open Arms melalui akun resminya.
PBB menyebut aksi blokade Israel itu menyebabkan 85 persen penduduk Gaza terusir dari tempat tinggalnya, 60 persen infrastruktur di Gaza rusak dan hancur, serta menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah.
Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan putusan awal pada 26 Januari yang memerintahkan Israel untuk berhenti melakukan genosida dan mengupayakan perbaikan kondisi kemanusiaan di Gaza.