REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan, semakin banyak orang di Amerika Serikat yang beralih ke golongan analgesik non-opioid, termasuk kratom, untuk mengatasi rasa nyeri. Itu terjadi ketika Amerika Serikat berhasil melewati gelombang keempat krisis epidemi opioid.
Namun, pemeriksa medis menemukan bahwa kratom menyebabkan 1,5 hingga 1,7 persen kematian akibat overdosis antara Januari 2020 hingga Desember 2022. Hal itu berdasarkan data dari State Unintentional Drug Overdose Reporting System (SUDORS) yang dibagikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Lantas, apa sebenarnya kratom? Tanaman ini juga tumbuh subur di Indonesia, namun pemanfaatannya sebagai obat masih menuai kontroversi.
"Kratom berasal dari daun Mitragyna speciosa, pohon Asia Tenggara yang juga ditemukan di Malaysia dan Thailand," ujar profesor pengobatan penyakit dalam dan pencegahan di Universitas Loma Linda, California, Lori Karan, dikutip dari Fox News, Selasa (19/3/2024).
Daun pohonnya memiliki lebih dari 40 senyawa aktif berbeda, yang paling utama adalah mitragynine, 7-hydroxymitragynine, dan speciofoline. Tanaman ini diperkirakan memiliki sifat ganda yang bisa menghasilkan efek stimulan pada dosis rendah, dan efek analgesik seperti opioid bila dikonsumsi dalam jumlah yang lebih tinggi.
"Kratom memiliki aktivitas pada reseptor opioid di otak (seperti analgesik opioid), dan oleh karena itu telah digunakan sebagai pengganti analgesik opioid atau sebagai alat untuk memperbaiki gejala putus obat opioid," kata Direktur Medis Divisi San Diego dari Sistem Pengendalian Racun California, dr Richard Clark.
Orang Amerika paling sering menggunakan kratom untuk pengobatan nyeri kronis dan membantu melawan gejala putus obat. Obat ini dilarang di enam negara bagian (Alabama, Arkansas, Indiana, Rhode Island, Vermont, dan Wisconsin) meskipun orang masih dapat membeli produk yang dibuat dari daun kratom secara online dan di toko-toko di seluruh AS.
"Saat ini tidak ada undang-undang khusus yang melarang kepemilikan kratom di Amerika Serikat," kata dr Clark.
Menurut survei nasional 2022 tentang penyalahgunaan narkoba, sekitar dua juta orang Amerika berusia 12 tahun ke atas menggunakan kratom dalam satu tahun terakhir. Meskipun vendor mungkin mengiklankan kratom sebagai produk yang aman dan alami, komposisinya bisa sangat bervariasi dan mungkin tidak mencerminkan label produk secara akurat.
Kratom jarang menyebabkan efek racun yang besar. Hanya saja, ketika orang menelan dalam jumlah besar atau menggabungkannya dengan obat lain, mereka mungkin mengalami reaksi halusinogen, kejang, koma, dan dalam kasus yang jarang terjadi, kematian.
"Ada juga potensi bagi individu untuk mengembangkan ketergantungan dan penarikan diri dari penggunaan kratom yang berlebihan," kata dr Clark.
Food and Drugs Administdration (FDA) memperingatkan risiko penggunaan kratom menyusul laporan yang terus masuk mengenai efek sampingnya.
"FDA juga telah memperingatkan konsumen untuk tidak menggunakan kratom karena risiko efek samping yang serius, termasuk toksisitas hati, kejang, dan gangguan penggunaan zat (SUD)," kata juru bicara FDA.
Menurut laporan SUDORS, antara 144.189 kematian akibat overdosis antara tahun 2020 hingga 2022, kratom terdeteksi dalam 2.966 kasus. Ini berarti sejumlah zat terdeteksi dalam pengujian toksikologi post-mortem, terlepas dari apakah itu penyebab kematian atau bukan.
Kratom terlibat dalam kematian 2.343 kasus, yang berarti pemeriksa medis dan petugas koroner mencantumkannya sebagai penyebab kematian. Ketika kratom ditemukan dalam pengujian post-mortem dalam kasus overdosis, kematian hampir selalu terjadi akibat penggunaan berbagai jenis obat, bukan hanya kratom.