Rabu 20 Mar 2024 22:07 WIB

ICW Minta Kejagung Batasi Diri untuk Melanjutkan Penyelidikan-Penyidikan Korupsi di LPEI

KPK mengumumkan meningkatkan status hukum LPEI ke level penyidikan pada Selasa.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) menerima surat laporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). Sri Mulyani melaporkan adanya indikasi dugaan korupsi atau fraud dalam pemberian fasilitas kredit LPEI dengan nilai total mencapai Rp2,505 triliun.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) menerima surat laporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). Sri Mulyani melaporkan adanya indikasi dugaan korupsi atau fraud dalam pemberian fasilitas kredit LPEI dengan nilai total mencapai Rp2,505 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) tak gegabah melanjutkan proses hukum atas pelaporan dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang sudah dalam penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peneliti ICW Kurnia Ramadhani mengatakan, aparat penegak hukum lain harus membatasi proses hukum suatu penanganan korupsi yang kasusnya sudah diumumkan meningkat ke penyidikan oleh KPK.

Kurnia mengatakan, dalam kasus LPEI ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada Senin (18/3/2024) melaporkan dugaan penyimpangan dan tindak pidana korupsi di LPEI yang besarnya mencapai Rp 2,5 triliun kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin. Namun sehari setelah pelaporan tersebut, pada Selasa (19/3/2024) KPK mengumumkan meningkatkan status hukum ke level penyidikan atas penyelidikan perkara yang kemungkinan sama di LPEI.

Baca Juga

“ICW penting untuk mengingatkan Kejaksaan Agung agar membatasi langkah hukumnya agar sejalan dengan mandat peraturan perundang-undangan,” kata Kurnia, Rabu (20/3/2024).

ICW mengacu pada Pasal 50 ayat (3) UU KPK 19/2019. Aturan tersebut menguatkan peran KPK dalam satu penanganan perkara korupsi di atas lembaga penegak hukum lainnya termasuk Kejagung. “Bahwa dalam hal KPK sudah melakukan penyidikan atas suatu perkara korupsi, maka aparat penegak hukum lain, termasuk Kejaksaan Agung, tidak lagi berwenang melakukan hal yang sama (penyidikan),” tegas Kurnia. 

KPK, kata Kurnia, pun menerangkan sudah melakukan penyelidikan dugaan korupsi di LPEI tersebut sejak 10 Mei 2023 lalu. Temuan awal dalam penjelasan oleh KPK menyebutkan angka dugaan korupsi yang mencapai 55,5 juta dolar AS atau sekira Rp 766 miliar. Diperkirakan nilai penyimpangannya lebih besar dari estimasi yang diumumkan Kejagung. 

“Ratusan miliar rupiah ini (versi KPK) baru terkait dengan satu debitur, dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya bertambah hingga triliunan rupiah bila ada ditemukan debitur-debitur lainnya,” kata Kurnia. 

ICW menyebut kasus dugaan korupsi LPEI ini punya modus serupa dengan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yaitu terkait dengan pembiayaan kredit ekspor untuk perusahaan-perusahaan sebagai debitur yang memberikan jaminan yang tak sesuai dengan nilai pemberian LPEI selaku kreditur. Menurut ICW, dugaan korupsi dengan nominal besar dalam kasus LPEI ini, pun memberikan kewenangan yang lebih bagi KPK untuk melakukan penanganan ketimbang Kejagung. 

“Penting untuk diingat bahwa pola yang selama ini terjadi, jika aparat penegak hukum lain sedang mengusut perkara korupsi dengan nominal yang besar, akan diikuti dengan berbagai macam hambatan. Dan itu memberikan kewenangan bagi KPK untuk bisa mengatasi,” ujar Kurnia.

Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menerima laporan dari Sri Mulyani itu mengungkapkan, empat perusahaan bakal masuk dalam penyelidikan dan penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terkait dengan kasus LPEI tersebut. Di antaranya PT RII yang menerima pembiayaan kredit senilai Rp 1,8 triliun, PT SMR senilai Rp 216 miliar, PT SRI sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar. 

Empat perusahaan tersebut, kata Burhanuddin, pun klaster pertama dalam penanganan hukum kasus tersebut. Sementara itu, kata Burhanuddin, pada klaster kedua, ada enam perusahaan yang masih dalam pegkajian dan klarifikasi oleh tim terpadu atas penggunaan dana LPEI senilai Rp 3,85 triliun. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement