REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengemukakan kabar bohong atau hoaks seputar nyamuk ber-Wolbachia masih menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengendalian dengue di Indonesia, khususnya di Bandung pada tahun ini.
Situasi itu diketahui berdasarkan hasil evaluasi terhadap uji coba teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat, yang bergulir sejak 2023 hingga sekarang.
"Hasil evaluasi kegiatan saat ini di Kelurahan Pesanggrahan bahwa titik penitipan ember adanya penurunan yang diawal mencapai 350-an ember, namun setelah adanya isu hoaks yang ada pada akhir tahun, menjadi menurun sampai 30 persen titik ember yang tidak mau dititipkan," katanya dikonfirmasi di Jakarta, Ahad (31/3/2024).
Ia mengatakan, minat warga untuk berperan sebagai "orang tua asuh" telur nyamuk ber-Wolbachia menurun seiring paparan kabar bohong atau hoaks.
Atas kejadian itu, kata Imran, hasil persentase perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti yang diperiksa di alam, saat ini baru mencapai 14 persen dari jumlah yang seharusnya berada di kisaran 35 persen.
Sesuai panduan yang diterbitkan Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM, metode pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilakukan menggunakan ember berisi air bersih yang tersimpan 250 hingga 300 telur nyamuk dengan angka penetasan telur sekitar 90 persen. Setiap ember diletakkan pada jarak 75 meter persegi.
Jumlah ember berisi telur nyamuk minimal harus mencapai 10 persen dari populasi aedes aegypti di daerah tersebut dan penyebarannya dilakukan sebanyak 12 kali. Satu kali penyebaran diasumsikan hanya 1 persen dari populasi nyamuk.
Salah satu narasi hoaks tentang Wolbachia yang beredar di media sosial pada akhir 2023 disebutkan bahwa teknologi tersebut merupakan rekayasa genetika pada nyamuk aedes aegypti yang lebih berbahaya bagi manusia dibanding pandemi COVID-19.
Selain itu, pada 21 September 2023, media Channel News Asia (CNA) Singapura menerbitkan berita berjudul “Project Wolbachia: 300 million mosquitoes released but not a silver bullet to deal with dengue, says NEA”.
Dalam sub judulnya disebutkan bahwa Badan Lingkungan Hidup (National Environmental Agency – NEA) Singapura menyatakan bahwa pada daerah dengan banyak sekali nyamuk, maka nyamuk Wolbachia tidak akan dapat berkompetisi dan akan memicu beban yang "berlebihan" (overwhelmed).
Diberitakan sebelumnya, inovasi program penanggulangan dengue berteknologi nyamuk ber-Wolbachia telah melalui uji coba yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayasan Tahija, dan Monesh University selama kurang lebih 10 tahun.
Wolbachia adalah bakteri alami, simbion yang umum ditemukan di hewan arthropoda, dengan mekanisme menghambat replikasi virus dengue yang diperankan oleh Wolbachia.
Hasil penelitian yang berlangsung di Yogyakarta mampu menurunkan 77 persen incidence rate (IR) dengue dan mengurangi risiko perawatan di rumah sakit sebesar 86 persen.
Menjawab isu terkait efektivitas Wolbachia di Singapura, peneliti dari riset nyamuk ber-Wolbachia di Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM Riris Andono Ahmad menyebut bahwa Singapura menggunakan strategi pelepasan yang berbeda dengan Yogyakarta, yaitu dengan melepas nyamuk jantan ber-Wolbachia.
Strategi ini bertujuan untuk menurunkan populasi nyamuk karena jika jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tanpa Wolbachia, telur-telur yang dihasilkan tidak akan menetas.
"Strategi ini tidak memanfaatkan kemampuan Wolbachia dalam memblok virus dengue karena hanya nyamuk betinalah yang menularkan virus dengue, penyebab DBD," katanya.