REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2024 telah selesai dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/4/2024), atas gugatan yang diajukan oleh Pasangan Calon nomor urut 01 dan 03. Putusan itu final dan harus dihormati oleh warga negara.
Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (FH UMJ) Prof Ibnu Sina Chandranegara, saat menjadi narasumber dalam acara Indonesia Menyapa Malam Edisi Khusus dengan tema 'Pilpres Selesai, Hormati Putusan MK'.
Dalam acara yang digelar oleh Radio Republik Indonesia Pro 3 88,80 FM itu, Ibnu mengatakan bahwa MK telah memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi peserta pemilu, tetapi juga untuk pendukung dan warga negara. Menurut Ibnu, sengketa Pemilu 2024 cukup menarik karena dilibatkannya pihak yang tidak berperkara yaitu presiden.
“Kesimpulan saya bahwa putusan MK ini menyelesaikan persoalan dan semua prasangka terlepas kemudian prasangka itu masih ada bayangan. Setidaknya putusan MK ini memberikan kepastian hukum,” katanya, mengutip keterangan tertulis, Selasa (23/4/2024).
Ibnu memberikan catatan khusus terkait hakim yang memiliki disenting opinion yang berada pada dua tema yaitu politisi bansos dan kenetralan. Ia mengungkapkan kekhawatiran karena putusan itu menyatakan bahwa dua hal itu dinyatakan tidak beralasan hukum.
“Keduanya berada pada satu wilayah yaitu wilayah pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Saya khawatir putusan ini di masa mendatang dianggap sebagai suatu strategi pemilihan yang bisa digunakan oleh pihak yang memiliki posisi kuat secara sosiologis. Maka ini menjadi hal berbahaya untuk demokrasi,” katanya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa setelah putusan MK, perlu ada perbaikan regulasi pemilu. Selain itu menurutnya penyelenggara pemilu tidak hanya sekadar menetralisir masalah tapi juga menjadi penegak hukum yang jauh lebih tegas dan jurdil (jujur dan adil).
Akan tetapi Ibnu tetap menegaskan bahwa perlu adanya antisipasi kasus serupa pada kontestasi politik di masa mendatang. Hal terkait nepotisme dengan alasan elected official itu menurutnya perlu dipertegas karena banyak kemungkinan bahwa seseorang menjadi calon karena privilege (hak istimewa).
“Tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi kandidat eksekutif itu semakin mahal, tidak murah, penuh strategi, upaya, dan mobilisasi, tetapi kalau kemudian dipersonifikasi maka dia butuh sesuatu salah satunya ikatan keluarga. Kalau ini menjadi hal yang dilegitimasi di masa mendatang, maka demokrasi kita membudidayakan kerajaan saja,” tegas Ibnu.
Ia juga mengkhawatirkan strategi menjadikan bansos sebagai alat politik akan ditiru oleh semua pihak dan tentu menjadi persoalan. Ibnu melihat kompetisi atau kontestasi politik ini belum tentu diikuti oleh calon yang berimbang atau sama kuat.
Maka dari itu diperlukan instrumen hukum yang mampu melindungi para calon bahkan pendukung dan tim hukum yang juga akan mengalami asimetris. Pada kesempatan itu, Ibnu berharap para pasangan calon yang tidak menang memberikan contoh yang baik pada para pendukung dengan memperlihatkan kenegarawanannya.
Ibnu meyakini bahwa strategi pemenangan pemilu akan terus berkembang dan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan hukum atau kurang tepat perlu dihindari.
“Kita semua melihat bahwa selain proses demokrasi melalui pemilihan umum, tetapi adanya MK memberikan kepastian hukum dan menghilangkan praduga hukum yang ada. Setidaknya sampai di situ, dan kita harus menghormati peradilan sebagai bangsa yang beradab,” ungkap Ibnu.