Jumat 03 May 2024 19:14 WIB

Kasus Dugaan Penodaan Agama Arya Wedakarna Naik ke Penyidikan

MUI Bali mendesak kepolisian segera menetapkan Arya sebagai tersangka.

Rep: Bambang Noroyono, Umar Mukhtar/ Red: Fitriyan Zamzami
Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna.
Foto: Antara/Ni Putu Putri Muliantari
Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR — Polda Bali memastikan melanjutkan proses penyidikan dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali, Arya Wedakarna. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali juga menyatakan sudah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas perkara Pasal 48 dan Pasal 45A UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tersebut.

Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasie Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana menyampaikan, SPDP terbitan Polda Bali tersebut dilayangkan pada 29 April 2024 lalu. Dari SPDP Polda Bali tersebut, Kejati Bali sudah menyiapkan tim untuk turut serta dalam pengusutan kasus tersebut.  “Benar. Kami (Kejati Bali) sudah menerima SPDP tersebut. Dan kami telah menunjuk tim jaksa peneliti,” begitu kata Putu melalui pesan singkat kepada Republika, di Jakarta, Jumat (3/5/2024).

Baca Juga

Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Bali Komisaris Besar (Kombes) Jansen Avitus Panjaitan, pun menyampaikan hal yang sama. Kata dia, informasi dari tim penyidikan, SPDP tersebut hasil dari gelar perkara peningkatan status penyelidikan ke penyidikan. 

“Benar informasi tersebut. (SPDP) sudah dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi Bali,” begitu ujar Kombes Jansen kepada Republika saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (3/5/2024). Namun kata dia, status hukum Arya Wedakarna, belum ditentukan. “Saat ini (status hukum Arya Wedakarna) menunggu proses untuk mendapatkan kepastian,” begitu ujar dia.

Dari dokumen yang diterima Republika, SPDP terbitan Polda Bali kepada Kejati Bali itu, bernomor surat B/28/IV/RES.2.5/2024/Ditreskrimsus Polda Bali. Ada dua hal inti dalam SPDP yang dilayangkan pada Senin 29 April 2024 tersebut. Hal pertama menyangkut soal rujukan yang menyebutkan adanya Laporan polisi bernomor LP/B/10/I/2024 SPKT/Pola Bali bertanggal 3 Januari 2024. Juga adanya laporan polisi bernomor LP/B/15/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri bertanggal 15 Januari 2024. 

Selanjutnya, laporan polisi bernomor LP/B/8/I/2024/SPKT/Polres Buleleng/Polda Bali bertanggal 4 Januari 2024. Laporan-laporan polisi tersebut menyebutkan Arya Wedakarna selaku terlapor. Dalam SPPD kepada Kejati Bali itu disebutkan, berdasarkan laporan-laporan tersebut, pada Jumat 25 April 2024, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali mulai melakukan penyidikan atas pelaporan terhadap Arya Wedakarna sebagai terlapor. 

Disebutkan penyidikan terhadap Arya Wedakarna tersebut, terkait dengan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPD Dapil (Daerah Pemilihan) Bali tersebut. “Yaitu berupa dugaan tindak pidana setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak, mendistribusikan dan atau mentransmisikan informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain, sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu, dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dan atau dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” begitu dalam salinan SPDP yang diterima Republika, Jumat (3/5/2024). Perbuatan Arya Wedakrna sebagai terlapor, dalam SPDP tersebut diduga melanggar Pasal 48 ayat (2), juncto Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 tentang ITE.

Arya Wedakarna mendapat sorotan setelah mengunggah video di akun Instagram yang kini sudah dihapus, ketika ia sedang memarahi kepala Kanwil Bea Cukai Bali Nusa Tenggara dan kepala Bea Cukai Bandara I Gusti Ngurah Rai, serta pengelola bandara. "Saya gak mau yang front line, front line itu, saya mau yang gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan terbuka. Jangan kasih yang penutup, penutup gak jelas, this is not Middle East. Enak aja Bali, pakai bunga kek, pake apa kek," ucap Arya.

Sontak saja ucapan Arya itu mengundang kecaman warganet. Warganet menilai ucapan Arya merendahkan hijab yang dipakai oleh Muslimah. Setelah video itu viral, Arya sempat meminta maaf dan menyatakan bukan maksudnya menyinggung jilbab. “Sama sekali dalam rekaman bukti hukum, selama rekaman rapat kami di bea cukai airport selama 49 menit dan 6 detik, sama sekali senator Bali tidak mengucapkan ‘hijab’. Sama sekali,” kata Arya.

Ia juga menambahkan, dalam rapat di Bandara Ngurah Rai, tidak membahas tentang agama. “Kami hanya membahas tentang tiga hal, yaitu yang pertama tentang gelar airport terburuk di dunia, yang kita minta klarifikasi kepada manajemen airport." 

"Yang nomor dua, kami meminta penjelasan dari airport tentang tuntutan desa adat berbasis Hindu kepada mitra transportasi online terkait dengan masalah transportasi. Yang nomor tiga adalah terkait dengan pengaduan masyarakat, salah satu penumpang orang Bali yang diperlakukan tidak baik oleh oknum petugas Bea Cukai.”

Ia kemudian menjelaskan bahwa dalam rapat itu tidak spesifik hanya ada satu orang dari satu agama. Rapat itu dihadiri oleh pejabat-pejabat terkait, yakni pimpinan Bandara I Gusti Ngurah Rai, kesyahbandaran, pihak desa adat atau tokoh-tokoh Hindu, pimpinan Bea Cukai, juga pimpinan dari stakeholder di Bandara Ngurah Rai. Dan peserta rapat itu, kata Arya, hadir dari semua unsur "Bhinneka Tunggal Ika".

 

Sementara itu, Tim Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Zainal Abidin, memberikan tanggapan terkait tindak lanjut atas kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Arya Wedakarna. 

"Kami mengapresiasi kinerja Pihak Kepolisian Daerah Bali dan berharap agar perkara ini segera dituntaskan untuk langkah selanjutnya menetapkan status tersangka Arya Wedakarna dan perkara segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Bali," kata Zainal dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (3/5/2024).

Dia mengatakan, kepastian hukum atas perkara ini merupakan hal penting sebagai pembelajaran atas nilai nilai toleransi dan kebhinekaan di Indonesia terutama di Pulau Bali. "Bali telah hidup sangat rukun sejak zaman kerajaan hingga saat ini sehingga jika ada oknum yang melakukan perbuatan diskriminasi dan/atau perbuatan ujaran kebencian yang mengandung SARA, maka jika ada oknum tersebut maka harus ditindak tegas agar adanya efek jera dan kepastian hukum di Indonesia," ujarnya.

Tim hukum MUI Bali juga mendorong agar Pihak Kepolisian Daerah Bali berani untuk bersikap tegas dan menerapkan prinsip equality before the law. "Siapapun dia itu sama di mata hukum dan siapapun dia jika bersalah maka wajib untuk dihukum," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement