Selasa 07 May 2024 12:39 WIB

Sejarah Panjang Islam di Prancis Banyak Diwarnai Diskriminasi dan Standar Ganda

Perjalanan umat Islam di Prancis tidak mudah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
 Masjid Ketchaoua yang jadi saksi kekejaman Prancis di Aljazair.
Foto: Alamy.com
Masjid Ketchaoua yang jadi saksi kekejaman Prancis di Aljazair.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Interaksi masyarakat Eropa dengan Muslim sudah terjadi sejak awal perkembangan Islam dan pengaruhnya semakin meluas di Jazirah Arab hingga ke luar Jazirah Arab. Misalnya Muslim dari Arab dan Afrika yang disebut sebagai bangsa Moor oleh masyarakat Eropa telah menguasai Semenanjung Iberia antara tahun 711 M hingga 1492.

Wilayah Semenanjung Iberia di antaranya meliputi wilayah Spanyol, Portugal, Andorra, dan Gibraltar dan sedikit Prancis. Tentu ketika umat Islam berkuasa di Andalusia dan lahir Kekhalifahan Cordoba, pastilah bangsa Eropa berinteraksi dengan Muslim dalam banyak aspek kehidupan, tidak terkecuali masyarakat Eropa yang ada di wilayah Prancis saat ini.

Baca Juga

Ratusan tahun telah berlalu, ternyata perjalanan Muslim di Prancis tidak mudah dan tidak berjalan mulus. Terjadi standar ganda dan diskriminasi sejak dulu yang membuat Muslim mendapat ketidakadilan.

Kisahnya dimulai di era Napoleon Bonaparte (1769 - 1821). Ketika Republik Prancis didirikan tahun 1792 dan baru berusia lima tahun, Napoleon Bonaparte jenderal Prancis yang paling berbakat mendarat di Alexandria di Mesir dengan pasukan ekspedisinya. 

Kampanye Napoleon Bonaparte di Mesir terjadi pada 1 Juli 1798, menurut Kalender Revolusi, terjadi pada tanggal 13 Messidor Tahun VI, karena berdirinya Republik Perancis seharusnya membuka era baru.

Dilansir dari artikel pada laman News Lines Magazine yang dipublikasikan tahun 2020, dijelaskan bahwa Napoleon Bonaparte menerbitkan proklamasi dalam bahasa Arab. Dalam proklamasi itu, Napoleon Bonaparte menggambarkan dirinya sebagai sahabat penduduk lokal (Mesir) dan sekutunya untuk melawan Mamluk (para prajurit Mamluk).

"Orang-orang Mesir, mereka telah mengatakan kepadamu bahwa aku datang untuk menghancurkan agamamu, tetapi jangan percaya. Sebaliknya, saya datang untuk memulihkan hak-hak kalian dan menghukum para perampas kekuasaan, karena saya lebih menghormati Allah, Nabi-Nya, dan Alquran daripada Mamluk,” demikian bunyi proklamasi Napoleon Bonaparte.

Napoleon Bonaparte Ikut Rayakan Maulid Nabi di Mesir

Jean-Pierre Filiu seorang Profesor Studi Timur Tengah di Sciences Po, Paris School of International Affairs dalam laman News Lines Magazine menuliskan bahwa Napoleon Bonaparte sempat ikut merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW saat berada di Kairo, Mesir.

Setelah mengalahkan Mamluk, Napoleon Bonaparte menetap di Kairo. Napoleon Bonaparte menyelenggarakan perayaan ulang tahun (Maulid) Nabi Muhammad SAW yang megah. Namun, seluruh kemegahan dan rasa hormatnya terhadap Islam tidak menghalangi pemberontakan rakyat di ibu kota yang kemudian ditumpas tanpa ampun pada bulan Oktober 1798. 

Empat bulan kemudian, Napoleon Bonaparte jenderal ambisius itu bergerak untuk menyerang umat Islam di Palestina, namun gagal merebut benteng strategis Palestina. Akhirnya, Napoleon Bonaparte menarik pasukannya lagi ke Mesir. Setelah ikut Maulid Nabi Muhammad SAW untuk kedua kalinya, Napoleon Bonaparte berlayar kembali ke Prancis.

Pengganti Napoleon Bonaparte adalah Jenderal Jean-Baptiste Kleber, ia harus memadamkan pemberontakan lain di Kairo (yang dijajah Prancis). Kemudian Jenderal Jean-Baptiste Kleber dibunuh pada bulan Juni 1800 M, oleh seseorang kelahiran Aleppo. 

Gubernur baru Mesir dari Prancis adalah Jenderal Jacques-Francois Menou, masuk Islam dan mengambil nama Abdallah. Kemudian dia menikah dengan wanita Mesir dari keluarga bangsawan.

Dewan Arab yang dipimpinnya di Kairo berjanji bahwa “Prancis dan Mesir kini menjadi satu bangsa, dipersatukan oleh persahabatan yang kuat dan tulus.” 

Namun pada bulan Agustus 1801, pasukan Menou dikalahkan oleh serangan yang dikoordinasikan antara Ottoman dan Inggris. Itulah akhir dari petualangan Republik Prancis di Mesir. 

Tidak lama setelah itu, Napoleon Bonaparte yang sekarang menjadi penguasa tertinggi di Paris (Prancis) akan menghapuskan Republik dan mendirikan kerajaan pribadinya seperti Napoleon I.

Meskipun ekspedisi Prancis di Mesir hanya berlangsung selama tiga tahun, invasi Prancis ke Aljazair (Algeria di Afrika) pada tahun 1830 menandai 132 tahun kekuasaan Prancis.

Kampanye kolonial Prancis dimulai tepat sebelum revolusi lain mendirikan Monarki Juli di Paris. Militer Prancis mula-mula mengusir garnisun Utsmaniyah, kemudian mengobarkan perang total yang akhirnya berhasil menghancurkan perlawanan lokal yang dipimpin oleh Emir Abdelkader pada tahun 1847.

Ketika Republik Kedua Prancis didirikan pada bulan Februari 1848 di atas reruntuhan Monarki Juli, Republik ini mencaplok wilayah Aljazair dan membaginya menjadi tiga departement; Aljir, Oran dan Konstantin, sementara wilayah lainnya tetap menjadi zona militer. 

Louis-Napoleon Bonaparte, keponakan Napoleon I, menjadi Kaisar Prancis sebagai Napoleon III pada bulan Desember 1852, menggantikan Republik Kedua dengan Kekaisaran Kedua. Pemerintahan kekaisarannya tampaknya lebih peka terhadap penderitaan penduduk setempat dibandingkan dengan pemerintahan republik yang mendahului dan menggantikannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement