REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature menyatakan bahwa musim panas tahun 2023 menjadi musim panas terpanas dalam kurun waktu 2000 tahun. Sebelumnya, para ahli juga menilai tahun 2023 sebagai musim panas terpanas yang pernah dicatat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa suhu panas pada tahun 2023 melampaui suhu pada periode yang jauh lebih lama. Temuan ini diperoleh dengan melihat catatan meteorologi yang berasal dari pertengahan tahun 1800-an, serta data suhu berdasarkan analisis cincin pohon di sembilan lokasi di bagian utara.
"Ketika Anda melihat rentang sejarah yang panjang, Anda dapat melihat betapa dramatisnya pemanasan global saat ini," ujar salah satu penulis studi, Jan Esper, seorang ilmuwan iklim di Johannes Gutenberg University di Jerman seperti dilansir Reuters, Rabu (15/5/2024).
Esper mencatat, suhu musim panas tahun lalu di wilayah antara 30 dan 90 derajat lintang utara mencapai 2,07 derajat Celcius lebih tinggi daripada rata-rata pra-industri. Berdasarkan data cincin pohon, bulan-bulan musim panas pada tahun 2023 rata-rata 2,2 derajat Celcius lebih panas daripada perkiraan suhu rata-rata sepanjang tahun 1 hingga 1890.
Temuan ini tidak sepenuhnya mengejutkan. Pada bulan Januari, para ilmuwan dari Copernicus Climate Change Service Uni Eropa mengatakan bahwa tahun 2023 sangat mungkin menjadi tahun terpanas dalam 100 ribu tahun terakhir.
“Namun, membuktikan rekor selama itu tidak mungkin terjadi,” kata Esper.
Karenanya dia dan dua ilmuwan Eropa lainnya berpendapat dalam sebuah makalah yang diterbitkan tahun lalu bahwa perbandingan tahun ke tahun tidak dapat dilakukan dalam skala waktu yang begitu lama dengan metode ilmiah yang ada saat ini, termasuk dengan mengumpulkan data suhu dari sumber-sumber seperti sedimen laut atau rawa gambut.
Lebih lanjut Esper menyatakan bahwa panasnya musim panas tahun lalu diperkuat oleh pola iklim El Nino yang menyebabkan gelombang panas terjadi lebih panjang dan lebih parah, serta periode kekeringan yang lebih lama.
Gelombang panas telah berdampak pada kesehatan masyarakat, dengan lebih dari 150 ribu kematian di 43 negara yang terkait dengan gelombang panas untuk setiap tahun antara tahun 1990 dan 2019. Demikian menurut rincian studi kedua yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine.
Jumlah tersebut menyumbang sekitar 1 persen dari kematian global - kurang lebih sama dengan jumlah kematian akibat pandemi global COVID-19. Lebih dari separuh dari kematian berlebih akibat gelombang panas tersebut terjadi di Asia yang padat penduduknya.
Ketika data disesuaikan dengan jumlah penduduk, Eropa memiliki jumlah korban per kapita tertinggi dengan rata-rata 655 kematian terkait gelombang panas setiap tahun per 10 juta penduduk. Di wilayah ini, Yunani, Malta, dan Italia mencatat jumlah kematian tertinggi. Panas yang ekstrem dapat memicu masalah jantung dan kesulitan bernapas atau menyebabkan heat stroke.