Sabtu 18 May 2024 17:14 WIB

Di Peradaban Islam Terdahulu Justru Mahasiswa yang Diupah, Kok Bisa?

Wakaf memainkan peran penting dalam mendanai pendidikan sepanjang peradaban Islam.

Ilustrasi Baitul Hikmah di Baghdad. Perpustakaan dan lembaga penelitian itu didanai Kekhalifahan Abbasiyah.
Foto: Public domain
Ilustrasi Baitul Hikmah di Baghdad. Perpustakaan dan lembaga penelitian itu didanai Kekhalifahan Abbasiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami

Mahalnya pendidikan tinggi di Indonesia hangat jadi perbincangan belakangan. Sepanjang ribuan tahun peradaban Islam, hal tersebut tak pernah menjadi persoalan. Alih-alih membayar mahal untuk berkuliah, para ilmuwan, pengajar, dan pelajar justru diupah dan diberi fasilitas hidup. Bagaimana hal itu bisa dilakukan?

Baca Juga

Toru Miura, peneliti dari The Oriental Library and Ochanomizu University di Tokyo, Jepang menilai, jawabannya adalah sistem wakaf. Secara garis besar, wakaf adalah semacam pengalihan permanen harta seseorang baik yang diam maupun bergerak untuk keperluan umum. Bentuknya bisa berupa bangunan, tanah, juga belakangan uang dan aset produktif.

Meskipun terdapat riwayat bahwa Khalifah Umar bin Khattab yang memulai mendirikan badan wakaf atas saran Nabi Muhammad SAW, baru pada abad kesembilan sistem hukum yang mendasari wakaf dikembangkan. Pada abad itu, tepatnya pada 850-an Masehi, sebuah masjid yang kelak menjadi universitas tertua di dunia menurut UNESCO didirikan menggunakan skema wakaf dari Fatimah al-Fihri, putri seorang saudagar kaya di Fez, Maroko. Fatimah mewakafkan masjid yang dinamai al-Qarawiyyin tersebut sekaligus mendanai pembelajaran di sana hingga jenjang pendidikan tinggi.

Sementara pada abad ke-11, Niẓām al-Mulk, wazir Kesultanan Seljuk, mendirikan Madrasah Niẓāmiyya di Baghdad. Berbeda dengan perluasan maknanya di Indonesia, “madrasah” pada masa itu adalah lembaga pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan dasar lebih sering disebut “kuttab”. Menurut Toru Miura, semua profesor, khatib, dan penghafal Alquran ditunjuk dan gajinya dibayarkan dari dana wakaf.

Pengelana terkenal Ibnu Jubair (wafat 1217) juga melaporkan penyebaran lembaga wakaf di kota-kota besar dalam catatan perjalanannya. Nūr al-Dīn (wafat 1174) dari dinasti Zangi menyumbangkan dua pabrik, tujuh kebun buah-buahan, tanah yang belum digarap, pemandian umum dan toko-toko untuk lembaga pembelajaran ulama di Masjid Umayyah, yang total pendapatan tahunannya lebih dari 500 dinar. 

Sebanyak 30 madrasah didirikan di Baghdad yang menyerupai istana indah, di mana para profesor dan mahasiswa diberikan gaji dan tunjangan melalui wakaf dalam jumlah besar. Pada abad keempat belas, Rashīd al-Dīn (wafat 1318), wazir Ilkhanid, membangun kompleks besar lembaga wakaf di luar Tabriz di Iran. Berdasarkan dokumen wakaf-wakaf yang ditulisnya, kompleks tersebut terdiri dari makamnya, masjid jami, ruang penyalinan buku, rumah tinggal, rumah sakit, tempat ulama dan rumah untuk orang miskin. 

Sebagian besar harta wakaf adalah tanah pertanian di Azerbaijan, dan juga di Yazd dan Hamadan di Iran. Separuh dari pendapatan tersebut digunakan untuk pengeluaran lembaga wakaf, dan separuhnya lagi untuk kerabat dan keturunan Rasyid al-Dīn.

Dalam catatannya, sebanyak 350 orang yang terdiri atas dosen, penghafal Alquran, dan pelajar adalah penerima manfaat wakaf tersebut. Selain itu ada 30 musafir, dan 100 orang miskin. Semua pelajar diberikan tempat tinggal. 

Di Andalusia, wakaf populer dari abad ke-12 hingga ke-15 untuk masyarakat miskin dan untuk jihad, serta untuk masjid dan lembaga pendidikan. Properti pertanian dan perkotaan (toko, gudang, rumah) banyak yang diwakafkan. Hampir semuanya kemudian direbut institusi Kristen setelah Islam diusir dari Semenanjung Iberia.

Di Damaskus, hingga abad ke-16 terdapat 152 madrasah alias institusi pendidikan tingga yang didanai dan dioperasikan dengan wakaf. Di Kairo, ada 73 madrasah dioperasikan dengan wakaf pada abad ke-15. Kemudian di Isfahan ada 48 madrasah didanai dengan wakaf. 

Ibnu Baṭṭūṭa (1368–1369) juga melaporkan masifnya penyebaran wakaf di Damaskus saat mengunjungi daerah itu pada 1326. “Jenis wakaf di Damaskus dan pengeluarannya tidak dapat dihitung, begitu banyak jumlahnya… Penduduk Damaskus saling bersaing satu sama lain. untuk membangun dan mewakafkan masjid, mushala sufi, madrasah, dan makam-makam,” tuturnya.

Damaskus jadi perhatian Tori Miura karena catatan wakaf dari wilayah itu sepanjang abad pertengahan tergolong lengkap. Dari dokumen-dokumen itu, diketahui bahwa wakaf untuk madrasah adalah yang paling banyak kedua, hanya kalah dari wakaf untuk bangunan dan tanah di Makkah dan Madinah. Ditemukan sebanyak 169 dokumen wakaf untuk Madrasah Umariyyah yang saat itu terbesar di Damaskus.

Data lain yang terungkap dari dokumen-dokumen di Damaskus itu, kebanyakan donatur wakaf adalah pejabat negara. Diantaranya 26 sultan dan raja, 18 panglima militer, 36 sheikh alias tokoh masyarakat, dan 26 qadi alias hakim.

Demikianlah bagaimana pendidikan tinggi dalam Islam didanai selama ratusan tahun. Jika pelajar perlu mengeluarkan biaya, biasanya hanya untuk biaya hidup. Sistem itu sempat bertahan lama sampai masa Kesultanan Turki Utsmani pada abad ke-19. Belakangan, sistem pemerintahan kebanyakan wilayah Darul Islam berubah seturut datang dan perginya kolonialisme. Demikian juga sistem pendidikannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement