Sabtu 25 May 2024 19:05 WIB

2 Ulama Kakak Beradik Abad Pertengahan yang Tolak Musik Dianggap Haram dan Alasannya

Polemik musik kembali mencuat di publik Indonesia

Ilustrasi pertunjukan musik. Polemik musik kembali mencuat di publik Indonesia
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Ilustrasi pertunjukan musik. Polemik musik kembali mencuat di publik Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di tengah polemik music beberapa waktu lalu, dan potensi kembali menguatnya perdebatan soal isu ini lagi, mengingatkan kita kembali tentang khazanah pemikiran klasik. 

Terdapat dua ulama adik kakak yang melakukan pembelaan terhadap diperbolehkannya musik. Siapakah keduanya?

Baca Juga

Mereka berdua adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Tahus Ahmad al-Thusi al-Syafi’I, yang lebih dikenal sebagai Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali (lahir 450H/1058M)  dan Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi al-Ghazali, yang lebih dikenal sebagai Ahmad al-Ghazali, adik Sang Imam.

Kakak beradik ini dilahirkan di Thus, dekat Meshhed di Khurasan (Iran sekarang). Menurut Margareth Smith, pada masa lampau kawasan ini merupakan lokasi Kemaharajaan Persia, kemudian oleh pemerintahan Abbasiyah dijadikan sebagai pusat propaganda. 

Di tempat ini dibangun kerajaan mereka pada abad kedelapan Masehi. Sejak itu dan seterusnya, tempat ini menarik perhatian sejumlah pengajar, penulis agama, dan tokoh-tokoh penyair terkenal lahir di tempat ini.

Thus terbilang kota yang lebih besar dibanding dua kota lain, Thabaristan dan Nawqan. Gedungnya tertata rapi dengan arsitektur Persia yang sangat indah dan mengagumkan. 

Penduduknya yang padat, kreatif dan gesit memberikan warna lain. Bunga-bunga tumbuh subur dengan aneka warna yang memberi banyak ilham bagi penyair kreatif. Tanahnya kaya mineral. Gunung-gunung berdiri kokoh seakan-akan sederetan pagar alam yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi penduduk di dalamnya.

Thus juga telah melahirkan sejumlah tokoh masyhur dalam sejarah Islam. Yang terkenal, Abu Ali al-Hasan bin Ishaq, dikenal dengan nama Nizam al-Mulk.

Seorang wazir terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Saljuq. Atas jasanya, Imam al-Ghazali dan Ahmad al-Ghazali, tumbuh sebagai dua tokoh yang sangat berpengaruh di dunia Islam.

Pro-kontra musik

Dr H Abdul Muhaya MA, dalam disertasinya mengungkapkan pro dan kontra kalangan ulama terhadap musik.

Sebagian ulama mengkategorikan musik (al-sama’) sebagai perbuatan yang tidak bermanfaat (lahw), dapat menumbuhkan kemunafikan dan termasuk hal yang dilarang oleh agama.

Empat Imam Mazhab Fikih terkenal, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Imam Syafi’i, mengharamkan musik. Meskipun dalam sejarah hidup mereka diriwayatkan menghargai musik.

Ulama fikih (faqih) hampir semuanya mengharamkan musik. Alasan mereka, musik bisa menyeret manusia ke sifat-sifat buruk. Hati jauh dari pancaran cahaya Allah dan rahmat-Nya.

Bahkan musik dapat membuat manusia lupa akan kesederhanaan, dan mengganggu pikiran. Ini terbukti ketika musik tengah diperdengarkan dan orang hanyut di dalamnya, akan muncul sifat-sifat tercela seperti menganggukkan kepala, bertepuk tangan, jingkrak-jingkrak dan melakukan gerakan-gerakan orang mabuk. Karenanya, hukum musik dapat disamakan dengan hukum minuman keras.

Al-Qurthubi, penulis Tafsir al-Qurthubi, menyebut instrumen musik seperti mandolin, tambur, dan alat-alat musik yang bersenar sebagai alat yang diharamkan oleh syarak secara ijma.

Singkatnya, kelompok yang kontra musik ini mengharamkan musik, dan menganggapnya sebagai bidah dan hanya patut dilakukan oleh orang yang kurang berakal dan para wanita. Sedangkan kelompok yang promusik tidak kalah pembelaannya.

Sejumlah argumentasi, baik dari Alquran dan Hadis, maupun argumen rasionalitas, dikedepankan. Bagi kelompok ini, musik merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit batin yang tidak bisa diobati oleh seorang dokter.

Di kalangan sufi, musik merupakan sarana purifikasi, yang dapat mengantarkan seseorang kepada Tuhan. Alunan musik yang indah dengan syair-syair yang indah dan berisi puji-pujian akan mempercepat seseorang mencapai pengalaman spiritual.

Ia akan mengalami suatu –meminjam istilah Annemarie Schimmel—jubilant experience (pengalaman yang menggembirakan dan mengharukan). Kata-kata tidak bisa melukiskannya.

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement