Selasa 28 May 2024 20:16 WIB

Akibat Perubahan Iklim, Suhu Panas Ekstrem di Dunia 26 Hari Lebih Banyak dari Biasanya

Peneliti menganalisis pengaruh perubahan iklim pada setiap hari yang sangat panas.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Seorang perempuan mengusir panas dengan kipas portable. Selama setahun terakhir, dunia mengalami rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih banyak dari seharusnya.
Foto: AP Photo/Koji Sasahara
Seorang perempuan mengusir panas dengan kipas portable. Selama setahun terakhir, dunia mengalami rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih banyak dari seharusnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama setahun terakhir, dunia mengalami rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih banyak dari seharusnya. Hal ini diyakini terjadi akibat perubahan iklim.

Temuan tersebut merujuk pada laporan gabungan dari Red Cross Red Crescent Climate Centre, kelompok peneliti iklim World Weather Attribution, dan organisasi penelitian nirlaba Climate Central. Panas merupakan penyebab utama kematian yang terkait dengan iklim, dan laporan tersebut menunjukkan peran pemanasan global dalam meningkatkan frekuensi serta intensitas cuaca ekstrem di seluruh dunia.

Baca Juga

Untuk penelitian ini, para ilmuwan menggunakan data 1991 hingga 2020 guna menentukan suhu yang termasuk dalam 10 persen teratas di setiap negara selama periode tersebut. Selanjutnya, mereka mengamati 12 bulan hingga 15 Mei 2024, untuk menentukan berapa banyak hari selama periode tersebut yang mengalami suhu sangat panas dari sebelumnya.

Dengan menggunakan metode yang peer-review, para peneliti menganalisis pengaruh perubahan iklim pada setiap hari yang sangat panas tersebut. Kesimpulannya, perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menambah 26 hari lebih banyak panas yang ekstrem dibandingkan tanpa pemanasan global.

Tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat, menurut pemantau iklim Uni Eropa, Copernicus. Pada tahun ini, gelombang panas ekstrem telah melanda sebagian besar dunia, mulai dari Meksiko hingga Pakistan.

Laporan tersebut mengatakan bahwa dalam 12 bulan terakhir, sekitar 6,3 miliar orang atau sekitar 80 persen dari populasi global, mengalami setidaknya 31 hari yang diklasifikasikan sebagai panas ekstrem. Secara keseluruhan, 76 gelombang panas ekstrem tercatat di 90 negara di setiap benua kecuali Antartika.

Lima negara yang paling terdampak berada di Amerika Latin. Laporan tersebut mengatakan bahwa tanpa pengaruh perubahan iklim, Suriname akan mencatat sekitar 24 hari panas ekstrem, bukan 182; Ekuador 10 bukan 180; Guyana 33 hari panas ekstrem, bukan 174, El Salvador 15 bukan 163; dan Panama 12 bukan 149.

"Panas ekstrem diketahui telah menewaskan puluhan ribu orang selama 12 bulan terakhir, namun jumlah sebenarnya kemungkinan mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan," kata Jagan Chapagain, sekretaris jenderal International Federation of the Red Cross.

"Banjir dan angin topan mungkin menjadi berita utama, namun dampak dari panas ekstrem juga sama mematikannya," tambah Chapagain seperti dilansir Phys, Selasa (28/5/2024).

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement