REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) memaparkan tiga landasan ketentuan yang menegaskan bahwa berhaji harus menggunakan visa haji, bukan visa ziarah atau visa lainnya.
"Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi)," kata Petugas Media Center Haji (MCH), Kemenag Widi Dwinanda dalam konferensi pers penyelenggaraan ibadah haji yang diikuti secara daring di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Penggunaan visa mujamalah untuk berhaji, ujar dia, populer di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan haji furoda, yang menggunakan visa undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Ia juga menekankan jamaah calon haji yang menggunakan visa tersebut wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
"Kedua, fatwa Haiah Kibaril Ulama (Perkumpulan Ulama Besar) Arab Saudi yang mewajibkan adanya izin haji bagi siapa pun yang ingin menunaikan haji," ujarnya.
Ia menyebut terdapat empat alasan yang disampaikan pada fatwa tersebut, yakni pertama, kewajiban memperoleh izin haji didasarkan pada apa yang diatur dalam syariat Islam dan kedua, kewajiban untuk mendapatkan izin haji sesuai kepentingan yang disyaratkan syariat yang akan menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji.
Ketiga, katanya, kewajiban memperoleh izin haji bagian dari ketaatan kepada pemerintah serta keempat, haji tanpa izin tidak diperbolehkan sebab kerugian yang diakibatkan hal itu tidak terbatas pada jamaah, tetapi meluas pada jamaah lain.
Menurut fatwa tersebut, ujarnya, tidak boleh berangkat haji tanpa mendapat izin dan berdosa bagi yang melakukannya karena melanggar perintah pemerintah.
"Pemerintah (Arab) Saudi telah menetapkan sanksi berhaji tanpa visa dan tasreh resmi," ucapnya.
Landasan terakhir, kata Widi, keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Pengurus Syuriyah Nahdlatul Ulama digelar pada 28 Mei 2024 yang memutuskan bahwa haji dengan visa non-haji atau tidak prosedural itu sah, tetapi cacat, sedangkan pelaku berdosa.
Sebelumnya ditemukan 22 orang Indonesia pemegang visa non-haji yang terkena razia di Masjid Bir Ali Madinah, Arab Saudi, Selasa (28/5), yang kemudian diputuskan untuk dideportasi dan diblokir untuk tidak bisa masuk Arab Saudi selama 10 tahun.