REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Nabi Muhammad SAW menyeru orang-orang untuk memeluk Islam, Sa’id bin Zaid segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan kerasulan beliau.
Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu menerima seruan Muhammad SAW. Ia lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat.
Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.
Sebelum menghembuskan nafasnya, ayah Sa'id—Zaid bin Amr bin Nufail—menengadah ke langit seraya berdoa, "Ya Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama lurus ini, maka janganlah anakku, Sa'id, diharamkan pula darinya."
Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia bersyahadat bersama istrinya, Fatimah binti Khathab, adik perempuan Umar bin Khathab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka.
Tetapi jangankan mengembalikan Sa’id kepada kepercayaan nenek moyang mereka, sebaliknya Sa’id dan istrinya sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik fisik maupun intelektualnya masuk Islam, Umar bin Khattab.
Mereka berdualah yang telah menyebabkan Umar bin Khathab masuk Islam. Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat kepada Islam.
Ketika dia masuk Islam, umurnya belum lebih dari 20 tahun. Selain Perang Badar, dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama-sama kaum Muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan Kekaisaran Romawi. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum Muslimin, dia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji.