Oleh: Selamat Ginting
Wartawan Senior Republika
Peserta seminar nasional terhenyak. Ternyata dari 169 pahlawan nasional negeri ini, tidak ada satu pun yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Padahal provinsi di ujung Timur, Papua sudah memiliki lima pahlawan nasional.
Sementara provinsi tetangga, Nusa Tenggara Timur (NTT), dua putra daerahnya telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional. Sedangkan Bali, memiliki lima pahlawan nasional. Apakah tidak ada tokoh NTB, yang layak menjadi pahlawan nasional?
“Karya dan jasa almarhum Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat, sepadan dengan peran para tokoh yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” kata Wakil Presiden (Wapres), Muhammad Jusuf Kalla, yang disambut tepuk tangan panjang peserta seminar.
Hal itu terjadi pada saat Wapres berbicara dalam seminar nasional bertajuk “Dari Nahdlatul Wathan untuk Indonesia: Jejak Perjuangan Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid” di Gedung Dewi Sartika, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rabu (5/4) lalu.
Menurut Wapres, Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ikut berperan besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Selayaknya, bangsa ini menghargai apa yang telah dilakukannya.
Kakek dari Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi tersebut, dinilai memainkan peran penting dalam perjuangan melawan penjajahan di wilayahnya. Zainuddin menanam benih-benih nasionalisme lewat lembaga Pondok Pesantren Mujahidin pada 1934. Setelah itu pada 1937 mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) dan pada 1943 mendirikan Madrasah NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah). Itulah embrio dari organisasi massa Nahdlatul Wathan (NW) yang didirikannya pada 1953.
NW yang berarti Kebangkitan Tanah Air itu menjadi alat perjuangan pendiri dan peserta didiknya. Sehingga, menurut Wapres, kepeloporan tokoh asal NTB itu patut diwarisi generasi berikutnya.
Dakwah Kemerdekaan
Kepeloporan yang dilakukan Zainuddin juga telah dilakukan para pendiri organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, di antaranya Syarikat Islam (1905), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Persatuan Islam (1923), Al Washliyah (1930), dan Mathlaul Anwar (1929).
Organisasi-organisasi kemasyarakatan itu dinilai telah berjuang melalui dakwah untuk kemerdekaan RI. ”Semua organisasi itu memiliki peran sendiri-sendiri. Ada kesamaan mengenai tujuan perjuangan,” kata Wapres.
M Zainuddin Abdul Madjid adalah penggagas dan pengembang nasionalisme religius untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk menelusuri jejak karyanya, Program Studi Pendidikan Sejarah UNJ menggelar seminar nasional tersebut. Salah satu poin penting dalam seminar kali ini adalah mengusulkan Zainuddin menjadi pahlawan nasional.
Merespons hal itu, menurut Kalla, pengusul gelar pahlawan untuk Zainuddin perlu memenuhi syarat pengajuan sebagai pahlawan lebih dahulu. Kendati demikian, ia yakin, tim penilai gelar pahlawan nasional akan mempertimbangkan semua peran dan jasanya.
Memang ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat gelar tersebut. Syarat itu diatur di dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Selain berjuang untuk Indonesia serta menghasilkan karya positif, kata Wapres, tokoh tersebut juga tidak boleh tercela. Dia yakin Zainuddin bukan orang tercela. "Termasuk perjuangan beliau dalam menggerakkan masyarakat. Konsistensinya dalam dalam pendidikan ke-Islaman dan kebangsaan," ujarnya.
Rektor UNJ, Djaali mengatakan, diskusi mengenai peran Zainuddin positif bagi kajian akademis. Menurut dia, kepahlawanan Zainuddin perlu dikenalkan kepada publik, termasuk kalangan kampus berkaitan dengan tokoh di sektor pendidikan.
”Seminar ini bukan hanya membahas tentang dokumentasi sosok Zainuddin, yang lebih penting adalah terjadinya transfer nilai,” katanya.
Tak Terpisah
Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi mengemukakan, setiap perjuangan Maulana Syekh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid mencerminkan keyakinan akan kesatuan antara kesatuan nilai ke-Islaman dan nilai kebangsaan untuk Indonesia.
“Nama Nahdlatul Wathan dipilih karena memiliki makna berjuang untuk bangsa, artinya berjuang untuk agama. Sedangkan berjuang untuk agama, pasti akan memberikan kebaikan untuk bangsa. Melalui penamaan tersebut, Islam dan kebangsaan dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan,” kata cucu dari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tersebut.
Dia mengungkapkan, terjadi keharmonisan di daerah yang dulu berjuluk Sunda Kecil, yakni Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Padahal berbeda mayoritas agama, tapi bisa akrab dengan nilai-nilai kebangsaan.