REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Istiqlal, masjid yang menurut saya paling monumental dan terbesar di Asia Tenggara. Istiqlal berarti ‘Merdeka’, melambangkan kemerdekaan dan kejayaan bangsa Indonesia setelah berhasil membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Presiden Sukarno sengaja memilih membangun masjid ini di atas puing-puing bekas benteng Belanda yang luasnya 9,9 hektare.
Benteng Belanda atau Citadel terletak di Wilhelmina Park. Dahulu di tengah Istiqlal terdapat Monumen Michiels, untuk menghormati Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, komandan militer Belanda di Sumatra Barat. Dia meninggal karena menderita luka parah oleh para pejuang kemerdekaan saat memimpin ekspedisi menghadapi pemberontakan di Bali (23 1848). Tapi lambang kolonial ini diruntuhkan setelah kemerdekaan. Sedangkan nama Wilhelmina Park diganti menjadi Taman Wijayakusuma, Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat.
Pembangunan masjid yang dicetuskan Menteri Agama KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) dan H Anwar Tjokroaminoto (putra HOS Tjokroaminoto) bersama tokoh Islam lainnya pada 1950 itu memerlukan waktu sangat panjang. Bahkan, hanya untuk menghancurkan kokohnya tembok benteng tersebut, Korps Zeni AD memerlukan waktu 1,5 tahun. Padahal penghancuran sudah menggunakan dinamit.
Selama bulan Ramadhan, ribuan jamaah dapat menikmati buka puasa bersama di Istiqlal, yang pangannya merupakan sumbangan dari para dermawan. Setiap Jumat tidak kurang dari 25 ribu jamaah shalat di masjid megah ini. Sedangkan di Hari Raya Idul Fitri, diperkirakan jamaah membeludak mencapai lebih dari 200 ribu orang.
Masjid Istiqlal terdiri atas beberapa bangunan. Seperti, gedung induk berukuran 100 X 100 m (satu ha), merupakan bangunan pokok dan di sekelilingnya terdapat lima lantai. Total luas bangunan induk 36.980 meter persegi atau hampir empat hektare. Di atas gedung induk dibuat kubah yang berbentuk kerangka polihedron, yang terbungkus konstruksi betuh bertulang. Di puncaknya, terdapat lambang ‘Bulan Bintang’ terbuat dari baja tahan karat.
Masjid dengan menara setinggi 6.666 sentimeter (diambil dari jumlah ayat Alquran) atau hampir 70 meter merupakan landmark ibu kota RI. Ketika bandara di Kemayoran dan kemudian di Halim Perdanakusuma, saat pesawat hendak mendarat, para penumpang akan menikmati dua monumen raksasa: Monas dan Istiqlal.
Menara Istiqlal dibuat berlubang-lubang, terbuat dari baja tahan karat, dan di puncaknya terdapat menara setinggi 30 meter. Kegiatan ta’mir masjid Istiqlal meliputi bidang peribadatan, ibadah sosial, publikasi dan dakwah, pendidikan dan latihan, serta studi dan kemasyarakatan.
Masjid itu paling banyak dikunjungi kaum Muslimin di Jakarta. Saban shalat Jumat, tidak kurang dari 2.000 hingga 2.500 jamaah shalat di masjid ini. Sedangkan pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha jumlahnya membludak hingga mencapai 250-300 ribu jamaah.
Dengan dibangunnya Istiqlal runtuhlah benteng peninggalan Belanda yang terletak di Wilhelmina Park dan dibangun untuk menghormati Ratu Wilhelmina yang lahir pada 31 Agustus 1898. Ia adalah nenek Ratu Beatrix. Orang Betawi dulu menyebutnya ‘gedung tanah’ karena, menurut cerita, di sini terdapat benteng atau terowongan bawah tanah (bunker) yang konon sampai ke benteng Kompeni di Pasar Ikan.
Wilhelmina Park di Batavia pada 1931. Di taman ini lokasi berdirinya Masjid Istiqlal. (Foto: Istimewa).
Di depan Istiqlal terdapat pintu air untuk mengendalikan kanal dari Molenvliet (Harmoni) yang dibelokkan ke arah Noordwijk (Jl Juanda), Risjwijk (Jl Veteran), terus ke Pasar Baru dan Gunung Sahari. Pada zaman Belanda, pintu air disebut sluisburg, yang juga menjadi nama jalan waktu itu. Baru setelah kemerdekaan diganti menjadi Jl Pintu Air. Dulu di sini merupakan daerah elite yang banyak dihuni orang Belanda. Kemudian, pada tahun 1920-an, juga dibangun kawasan Menteng untuk warga Belanda yang makin banyak berdatangan ke Batavia.
Dulu, di depan Istiqlal terdapat bioskop Capitol Theatre, yang kini sudah berubah fungsi menjadi pertokoan. Dulu bioskop Capitol hanya memutar film-film Barat (Amerika Serikat). Pada awal tahun 1950-an, ketika Usmar Ismail mendirikan Perfini (1950) dan setahun kemudian di susul oleh Djamaluddin Malik (Persari), film-film Indonesia mulai banyak bermunculan. Pada pertengahan 1950-an Usmar Ismail (Perfini) membuat film Krisis. Usmar pun berusaha agar film produksinya diputar di bioskop Capitol. Kala itu, yang berhak memutuskan apakah film Krisis pantas diputar di Capitol, adalah seorang Barat bernama Wetkin.
Begitu tidak yakinnya pengelola Capitol ini terhadap film Indonesia, hingga belum sampai melihat lebih dulu, ia pun sesumbar dengan mengeluarkan kata-kata menghina yang intinya menyatakan, ”Film Indonesia tidak pantas dipertunjukkan di Capitol”. Tidak seperti Djamaluddin Malik yang meledak-ledak, Usmar Ismail yang sabarpun tidak dapat menerima penghinaan ini. ”Maka dia pun menjotos pimpinan Capitol”.
Agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan untuk meredakan ketegangan, maka general manager MGM (Metro Goldwyn Mayer) untuk Indonesia, Alexander Wenas, menawarkan agar film Krisis Usmar Ismail di putar di bioskop Metropole (kini Megaria). Bioskop yang memuat 1.500 penonton ini, sejak berdiri 1950-an hanya memutar film-film keluaran MGM ketika memutar film ‘Krisis’ ternyata sukses besar. Selama 35 hari film ini diputar di bioskop Metropole.
Akibat sukses besar film Krisis, bioskop Capitol pun mengubah sikap dan membuka diri untuk film Indonesia. Maka masuklah Djamaludin Malik (Persari) dengan film Janjiku. Kemudian kembali Usmar memutar film Tiga Dara (Mieke Widjaya, Indriati Iskak dan Chitra Dewi) yang juga sukses.
Di samping kiri bioskop Capitol sebagian berada di bantaran sungai yang ditinggikan terdapat sebuah restoran mewah yang tiap malam menjadi tempat dansa-dansi kaum berada. Restoran Capitol yang menghadap ke sungai Ciliwung kala itu airnya masih jernih dihias dengan lampu warna-warna. Steaknya sangat terkenal karena bistiknya dari Belanda. Restoran ini menyediakan minuman haram yang membuat peminumnya menjadi teler karena mabuk.
Karena letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal yang kala itu mulai dibangun, maka umat Islam menjadi marah. Tanpa mengenal ampun, bioskop Capitol dan restorannya dibakar massa. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali massa membakarnya. Kemudian, sebelum bubar, bioskop ini mengganti nama menjadi Ceno. Karena Jl Pintu Air terletak di daerah elite, di samping kiri Masjid Istiqlal terdapat klub malam Black Cut. Tapi setelah kemerdekaan, tempat hiburan yang terletak di Citadel (kini Jl Veteran I) itu ditutup.