Senin 11 Dec 2017 04:47 WIB

Sejarah Panglima TNI Lekat dengan Tuduhan Mengudeta Pemerintahan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Jenderal Besar Soedirman.
Foto: IST
Jenderal Besar Soedirman.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah, wartawan Republika

Masa tugas Panglima TNI Gatot Nurmantyo berakhir pada Desember 2017. Walaupun purnatugasnya dijadwal rampung Maret 2018. Namun Presiden Jokowi pada Senin (4/12), mengeluarkan surat percepatan purnatugas Panglima Gatot. Dalam surat itu presiden pun menyebut Gatot diberhentikan dengan hormat.

Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto pun naik ditunjuk presiden sebagai pengganti Panglima TNI. Jokowi beralasan penunjukkan Hadi Tjahjanto dianggap mampu membawa perubahan di tubuh TNI. Namun banyak mempertanyakan langkah presiden mempercepat purnatugas Jendral Gatot ini. Asumsi yang berkembangpun dianggap strategi politik Jokowi, khususnya jelang tahun politik 2018 dan 2019.

Asumsi ini bukanlah suatu kesalahan. Karena fakta sejarah, relasi politik pemerintahan dan Panglima TNI memang sering terjadi. Dalam sejarahnya selama 72 tahun merdeka, Indonesia telah memiliki 19 Panglima TNI dan dua Gabungan Kepala Staf. Sejak Indonesia merdeka pula jabatan Panglima TNI sebagai komandan militer tak lepas dari singgungan kepentingan politik kepala negara.

Sebagai contoh, perbedaan pandangan politik pernah terjadi antara Soekarno dan Soedirman saat revolusi dan perang gerilya. Ketika pemerintah diberi pilihan menyerah pada Sekutu. Jendral Besar Soedirman memilih tetap bertempur cara gerilya melawan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.

Namun sikap berbeda Soedirman ini tetap ia tunjukkan dengan etika kepada panglima tertinggi, Presiden Soekarno saat itu. Soedirman tak lantas bermanuver politik mengambil pemerintahan, sesaat sebelum Soekarno ditahan Belanda. Soedirman memilih berpamitan sambil memeluk Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta.

Tuduhan soal keinginan mengkudeta bukan tidak pernah dialamatkan ke Soedirman. Dalam buku 'Kesaksian Bung Karno 1945-1947', disebutkan adanya tuduhan Soedirman akan mengkudeta Soekarno. Ini berdasar surat yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan saat itu Amir Sjarifoeddin memerintahkan pemeriksaan kepada Soedirman. Namun semua itu tidak terbukti, karena tak pernah terbesit akan dilakukan seorang Soedirman.

Bahkan ketika perjanjian Roem-Royen pada 14 April 1949, Soedirman memiliki sikap tidak sepakat dengan pemerintah. Namun Soedirman menunjukkan perbedaan sikap ini bukan berarti mengkudeta atau merebut pemerintahan yang sah. Soedirman justru memilih mengundurkan diri dari jabatan Panglima TNI atau TKR saat itu. Walaupun tidak pernah dia jalankan demi menjaga kestabilan negara.

Sikap Soedirman tetap menghormati keputusan pemerintah. Sikap Panglima Besar ini menjadi contoh terbaik dalam menjaga relasi antara militer dan politik pemerintahan. Di mana hubungan militer dan politik dalam perjalanan sejarah kemudian, seringkali saling mengintervensi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement