Ahad 27 Jan 2019 20:11 WIB

Seteru Seru Jenderal Soedirman vs Jenderal Spoor

Meski belum bertemu langsung, Spoor sangat jengkel dengan Soedirman.

Red: Bayu Hermawan
Panglima Soedirman, dan para prajurit di Sobo, Jawa Tengah, sebelum kembali ke Yogyakarta.
Foto: Repro Buku Panglima Besar Jenderal Soedirman, Tjokropranolo
Panglima Soedirman, dan para prajurit di Sobo, Jawa Tengah, sebelum kembali ke Yogyakarta.

Dua panglima pandai, tangguh, dihormati anak buah, tetapi meninggal dunia di usia muda. Inilah tragedi pada 1949-1950 yang menimpa Belanda dan Indonesia. Panglima Tentara Belanda di Hindia Belanda Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor meninggal dunia pada 25 Mei terkena serangan jantung. Panglima Tentara Republik Indonesia Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 akibat penyakit paru-paru.

Spoor tidak pernah bertemu langsung dengan Soedirman, bahkan di medan perang. Namun, kejengkelan pria Belanda ini kepada tentara Indonesia benar-benar sudah di ubun-ubun. Menurut Spoor, seperti yang ditulis dalam buku "Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia" (2015), sebagian besar masyarakat Indonesia masih menginginkan Belanda tetap memerintah. Hanya segelintir kecil kelompok yang terus-menerus mengumandangkan kemerdekaan. Kelompok kecil ini, Spoor menegaskan, harus diberangus, termasuk militer Indonesia.

"Tuan-tuan itu," demikian Spoor biasa menamakan para juru runding Republik, harus mengakui "dengan terus terang" bahwa mereka tidak menguasai pasukannya. Ia menyatakan ketidakpuasannya tentang para militer Republik di meja rapat yang menurut dia tanpa kecuali merupakan "mitra bicara yang sepenuhnya tidak kompeten", yang keistimewaan utamanya adalah "kesombongan tak terkira". Namun, apalah yang dapat diharapkan dari "seorang bintara, juru tulis, dan kepala sekolah yang dipromosikan sebagai jenderal," tambahnya sinis.

Yang paling mengerikan, menurut Spoor, adalah Soedirman sendiri. Ia tadinya bekerja sebagai guru sekolah. Memang patut dipuji, tetapi sementara itu, ia "sepenuhnya besar kepala", "sombong tak terkira" mengenakan seragam dengan "tanda penghargaan Jepang, epolet berwarna emas yang bintang tiga, serta memakai kopiah".