REPUBLIKA.CO.ID, MAJALENGKA---Bata merah pernah menjadi bahan baku utama dan andalan mayarakat dalam membangun rumah. Karenanya, sejumlah daerah pun tumbuh menjadi sentra pembuatan bata merah, termasuk di Kabupaten Majalengka.
Di ‘Kota Angin’ itu, sentra pembuatan bata merah di antaranya tersebar di Jatimulya, Baribis, Kasokandel, Panyingkiran dan Ligung. Di daerah-daerah itu, tak sedikit warganya yang mengandalkan mata pencaharian mereka dari membuat bata merah.
Di musim kemarau seperti sekarang, produksi dan penjualan bata merah biasanya meningkat. Pasalnya, cuaca yang panas sangat mendukung proses produksi bata merah. Selain itu, di musim kemarau juga biasanya banyak warga yang membangun rumah. Pesanan bata merah biasanya akan meningkat.
Namun, seiring berjalannya waktu, produk lokal yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat itu kini terpinggirkan. Bata merah kian terjepit di antara membanjirnya herbel yang diproduksi dengan mesin oleh perusahaan besar.
Kondisi itupun membuat para pengrajin bata merah di Kabupaten Majalengka merana. Pemasaran produk bata merah mereka menjadi lesu karena banyak di antara masyarakat yang beralih menggunakan herbel untuk membangun rumah.
Hal tersebut salah satunya dialami oleh seorang pemilik usaha bata merah di Desa Baribis, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka, Karjo ( 55 ). Pria paruh baya itu sudah menggeluti usahanya sejak 1994.
Menurut Karjo, dulu usahanya ramai karena masyarakat yang ingin membangun rumah pasti membutuhkan bata merah sebagai bahan baku utama. Namun sekarang, usahanya terpuruk karena lesunya pemasaran. ‘’Sekarang masyarakat lebih memilih herbel ketimbang bata merah,’’ keluh Karjo, Senin (10/6/2024).
Padahal, kata Karjo, bata merah lebih unggul dibandingkan herbel untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan rumah. Menurutnya, bangunan yang menggunakan bata merah lebih kokoh dibandingkan yang menggunakan herbel.
Lesunya usaha bata merah itu juga sebelumnya dialami oleh para pengrajin saat pandemi Covid-19 pada 2020 silam. Selama dua tahun pandemi, denyut nadi usaha pembuatan bata merah seolah berhenti karena hampir tak adanya kegiatan pembangunan. Meski pandemi telah berakhir, namun kebangkitan usaha bata merah ternyata tak sesuai harapan mereka.
Tak hanya terpuruk akibat sepinya pembeli, para pengrajin bata merah juga dihadapkan pada naiknya bahan baku dan biaya produksi pembuatan bata merah. Seperti misalnya tanah merah, huut untuk pembakaran bata merah maupun upah pekerja. ‘’Semuanya mahal,’’ ungkap Karjo.
Karjo menyebutkan, untuk membuat seribu buah bata merah berukuran 25 cm X 10 cm dan ketebalan 6 cm, dibutuhkan biaya Rp 500 ribu. Bata merah tersebut selanjutnya dijual kepada konsumen dengan harga Rp 650 per bata.
Karjo berharap, pemerintah dapat lebih bijak mempertimbangkan nasib para produsen bata merah yang kini terjepit. Dia meminta ada kepedulian pemerintah kepada para pengrajin bata merah lokal untuk membantu pemasaran produk mereka. ‘’Kalau gak ada pesanan bata merah, ya kami gak kerja. Dan kalau kami gak kerja, mau makan dari mana? Tolong berpihaklah pada kami rakyat kecil,’’ kata Karjo.
Hal senada diungkapkan pengrajin bata merah lainnya, Edi. Dia pun meminta agar pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Majalengka, memberikan ruang bagi para pengrajin bata merah untuk tetap bisa bertahan.
Edi mengungkapkan, salah satu hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Majalengka di antaranya dengan menggunakan bata merah lokal untuk membangun suatu proyek bangunan. Dengan demikian, pengrajin bata merah bisa tetap hidup karena pemasarannya bisa terbantu.
‘’Minimal bisa memanfaatkan bata merah produk lokal Majalengka, sehingga bisa mengangkat perekonomian masyarakat. Kan banyak proyek pemerintah,’’ kata Edi.