REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Ahmad Syafii Maarif Institute yang menaungi lembaga Maarif Institute for Culture and Humanity telah menetapkan Andar Nubowo, DEA., Ph.D sebagai direktur eksekutif yang baru. Dalam acara ramah tamah di kantor pusat Maarif Institute, Kamis (13/6/2024) malam, aktivis Muslim kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, itu menerima ucapan selamat dari sejumlah kolega dan perwakilan lembaga, termasuk media-media massa. Ia juga mengapresiasi kepemimpinan Abd Rohim Ghazali, yang sebelumnya menjabat direktur eksekutif sejak Maret 2019 hingga Mei 2024.
Andar Nubowo menuturkan, Maarif Institute kini telah memasuki usia dekade ketiga. Pihaknya pun melihat tantangan zaman untuk penguatan masyarakat madani (civil society) kian kompleks. Karena itu, penyegaran paradigma berpikir sangat diperlukan saat ini.
"Kita melihat sekarang, Indonesia dan dunia umumnya sedang mengalami kompleksitas. Tenunan hubungan sosial, antarkomunitas masyarakat, antar-umat agama, dilanda malaise. Ini semua sejatinya butuh kontribusi dan pencerahan dari orang-orang yang tercerahkan," kata alumnus Ecole Normale Supérieure (Prancis) itu di kantor pusat Maarif Institute, Jakarta, Kamis (13/6/2024) malam.
Dahulu, lanjut Andar, Indonesia memiliki sejumlah tokoh Muslim progresif yang pemikiran-pemikirannya mencerahkan. Misalnya, Nurcholis Madjid atau Cak Nur (1939-2005), KH Abdurrahman atau Gus Dur (1940-2009), Prof Buya Ahmad Syafii Maarif (1935-2022), dan Prof Azyumardi Azra (1955-2022).
Gagasan-gagasan yang mereka rumuskan ikut mengobarkan tungku peradaban Islam di Tanah Air. Bukan hanya itu, para guru bangsa tersebut juga tampil memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, termasuk ketika demokrasi dikekang oleh kekuasaan otoriter Orde Baru.
"Dahulu, kita sebagai murid-muridnya tidak mengalami disorientasi ketika betul-betul demokrasi mengalami penurunan. Kita rindu pemikiran-pemikiran progresif mereka," ujar dia.
Kini, mereka semua telah tiada. Sementara itu, sejarah boleh jadi kembali terulang. Andar mengingatkan, Indonesia mungkin saja terjerumus ke dalam totalitarianisme lagi bila demokrasi yang terus menerus dipinggirkan.
"Kalau tidak aware, kita bisa kembali ke masa lalu, ketika kebebasan tereduksi atas nama ketertiban," katanya.
Dalam situasi malaise demokrasi, lanjut Andar, kelompok kelas menengah yang terdidik menjadi tumpuan harapan. Karena itu, mereka yang aktif dalam gerakan-gerakan civil society diharapkan menjadi penyeimbang di hadapan kuasa negara dan kapital.
Ia mengatakan, Maarif Institute akan terus selalu menghidupkan legasi intelektualisme dan aktivisme Buya Syafii, baik dalam konteks keislaman, kemanusiaan, maupun keindonesiaan. Di bawah kepemimpinannya, Andar menjelaskan, gerakan civil society ini akan berfokus pada tiga hal.
Pertama, penguatan pelembagaan atau institusionalisasi. Dalam arti, Maarif Institute kian meneguhkan peran dalam upaya menyegarkan pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang telah dicetuskan para guru bangsa--terutama Buya Syafii Maarif. Dengan demikian, gagasan-gagasan mereka akan terus hidup dan dilanjutkan oleh generasi muda, sesuai konteks zaman yang berubah.
Kedua, inovasi sosial. Andar mengistilahkannya sebagai "penciptaan bidah-bidah baru", yakni dengan menerjemahkan pemikiran-pemikiran para pembaru Muslim progresif Islam Indonesia ke dalam konteks pendidikan, sosial, serta politik kebangsaan yang mencerahkan.
View this post on Instagram
Terakhir, internasionalisasi. Ini menjadi sangat penting dalam upaya membawa kekhasan Islam Indonesia ke tingkat global. Andar mengatakan, selama ini corak keislaman Indonesia dipandang sebagai pengejawantahan "Islam yang ramah" bila dibandingkan dengan, umpamanya, fakta-fakta sosiologis negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah.
"Ini pun menjadi upaya decentering Islam, yakni mematahkan anggapan bahwa pusat Islam hanyalah Timur Tengah. Islam adalah agama semesta. Kita (Indonesia) pun berhak menjadi salah satu pusat peradaban Islam dunia," ucapnya.