Ahad 16 Jun 2024 20:19 WIB

Perang Dagang UE-China Jadi Penyebab Rupiah Anjlok?

Nilai tukar rupiah terus melemah, hingga menembus level Rp 16.400 per dolar Amerika.

Rep: Eva Rianti/ Red: Mas Alamil Huda
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan, hingga menembus level Rp 16.400 per dolar AS. Pengamat menilai, di antara sentimen yang memengaruhinya adalah perang dagang Uni Eropa vs China.

Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 142 poin atau 0,87 persen menjadi Rp 16.412 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (14/6/2024). Pada perdagangan Kamis (13/6/2024), rupiah berada di level Rp 16.270 per dolar AS.

Baca Juga

Adapun berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tren pelemahan. Tercatat kurs rupiah mencapai Rp 16.374 per dolar AS pada perdagangan Jumat (14/6/2024), melemah dari posisi sebelumnya Rp 16.286 per dolar AS pada Kamis (13/6/2024).

Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menganalisis diantara penyebab pelemahan rupiah adalah aksi perang dagang antara Eropa dengan Negeri Panda yang masih memanas hingga saat ini.

“Perang dagang Uni Eropa dan Tiongkok membuat kondisi global bermasalah. Harus diingat bahwa salah satu yang berdampak negatif terhadap mata uang di dunia adalah yang pertama Amerika, yang kedua adalah Tiongkok. Sehingga terjadinya perang dagang ini membuat rupiah kembali lagi mengalami pelemahan yang cukup signifikan,” kata Ibrahim kepada wartawan, dikutip Ahad (16/4/2024).

Selain itu, ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat (AS) juga menjadi sentimen. Ibrahim menjelaskan, peningkatan ketegangan itu dipicu oleh peningkatan tarif impor terhadap produk otomotif asal China, seperti mobil listrik dan aki listrik. Aksi itu memicu respons balik dari China dengan memberlakukan tarif impor terhadap barang-barang dari Uni Eropa dan AS.

“Perang dagang ini memanaskan situasi di samping bank sentral Amerika juga hanya menurunkan suku bunga satu kali yang kemungkinan besar terjadi di bulan Desember (atau November) bersamaan dengan Pilpres di Amerika yang begitu memanas,” tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement