Selasa 18 Jun 2024 04:54 WIB

Tiga Pesan Bijaksana Ali bin Abi Thalib

Ini adalah nasihat-nasihat Ali bin Abi Thalib, seperti dinukil dari pelbagai kitab.

Ali bin Abi Thalib
Foto: dok wiki
Ali bin Abi Thalib

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Nu’aim al-Ashbihani merupakan seorang cendekiawan Muslim dari abad keempat Hijriyah. Sebuah karya fenomenalnya ialah Hilyat al-Auliya wa Thabaqath al-Ashfiya (Perhiasan Para Wali dan Tingkatan Orang-orang Suci). Di dalamnya, ia mencatat sejarah hidup banyak orang saleh, mulai dari generasi sahabat Nabi Muhammad SAW, tabiin, dan tabiit tabiin.

Ali bin Abi Thalib merupakan seorang tokoh yang riwayatnya tercantum. Tidak hanya memaparkan secara biografis, Abu Nu’aim pun menukil banyak petuah Imam Ali di dalam karyanya itu. Sang Karamallahu wajhah berkata, “Hafalkanlah lima hal dari saya. Seandainya kalian mengendarai unta untuk mencarinya (nasihat-nasihat itu), pasti unta itu sudah binasa sebelum kalian mendapatkannya.” Berikut adalah tiga dari lima petuah yang dimaksud.

Baca Juga

Pentingnya zuhud

“Janganlah seorang hamba Allah mengharapkan selain Tuhannya,” demikian pesan pertama Ali bin Abi Thalib, seperti disebutkan dalam Hilyat al-Auliya. Perkataan itu mengandung hikmah tentang keutamaan hidup zuhud. Itu tidak berarti meninggalkan sama sekali kehidupan dunia, lalu sibuk mengasingkan diri atau memilih seperti rahib.

Sebab, Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan umatnya untuk tidak mengabaikan kiprah-kiprah yang bisa dilakukan di dunia. Sebagai gambaran, banyak sahabat beliau yang kaya raya. Namun, kekayaan mereka tidak sampai membutakannya untuk selalu mengabdi sebagai hamba Allah serta berupaya taat dan takwa kepada-Nya.

Mengutip Imam al-Junaid dalam kitab Madarij as-Salikin, “Orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.” Yang diharapkan ahli zuhud hanyalah ridha Illahi.

Takutlah akan dosa

Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf. Ali bin Abi Thalib berpesan, “Janganlah merasa takut kecuali kepada dosa sendiri.” Sejalan dengan itu, menurut sahabat Nabi SAW ini, seorang Mukmin hendaknya tidak terjerumus dalam sikap meremehkan dosa.

Memang, tidak ada yang maksum kecuali para nabi dan rasul Allah. Akan tetapi, Allah tidak akan membebani manusia melebihi kemampuan makhluk-Nya itu (QS al-Baqarah: 286). Karena itu, janganlah berputus asa dari rahmat-Nya. (QS az-Zumar: 53).

Orang yang ingat dan takut akan dosa dan kesalahannya senantiasa bertobat kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba Mukmin yang terjerumus dosa, tetapi kemudian bertobat” (HR Ahmad).

Kaitan malu dan Ilmu

Imam Ali mengingatkan tentang pentingnya sikap malu, baik bagi orang yang awam maupun berilmu. Suami Fathimah az-Zahra itu berkata, “Jangan sampai orang bodoh merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui. Dan, jangan sampai pula orang yang berilmu merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih mengetahui (wallahu a’lam)’ ketika dirinya ditanya ihwal perkara yang tidak diketahuinya.”

Jangan sampai seseorang enggan bertanya sehingga dirinya bertambah bodoh. Orang yang alim pun seyogianya tidak merasa diri paling pintar. Keangkuhan hanya membawa pada musibah. Sering disebutkan dalam literatur sufi, betapa Iblis adalah makhluk Allah yang berilmu. Namun, kesombongan menyebabkannya terjerumus sehingga “berani” membangkang perintah-Nya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement