REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Penelitian terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan bahwa pada akhir abad ini, lebih dari 800 pembangkit listrik tenaga batu bara di berbagai negara dapat dinonaktifkan. Pembangkit batu bara itu dapat diganti dengan pembangkit listrik tenaga surya yang lebih bersih dan tetap menguntungkan.
IEEFA mengatakan, walaupun hanya sepersepuluh pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada saat ini dijadwalkan dinonaktifkan pada tahun 2030, ada lebih banyak lagi yang dapat ditutup jika ada upaya untuk mengidentifikasi peluang-peluang yang ada. "Masalah utama di sini adalah kurangnya jalur transaksi batu bara-ke energi bersih yang terdefinisi dengan baik, terkontrak, dan menguntungkan," kata penulis utama laporan IEEFA Paul Jacobson, Senin (17/6/2024).
Setiap tahun, sebanyak 2.000 gigawatt pembangkit listrik tenaga batu bara menghasilkan 15 miliar metrik ton karbon dioksida. Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri, maka emisi dunia pada tahun 2040 harus nol.
Namun, penonaktifan pembangkit listrik batu bara akan memakan banyak biaya, terutama apabila pembangkit listrik itu masih memiliki utang atau terikat perjanjian pasokan (PPA) yang mengharuskan mereka memasok listrik selama beberapa dekade. Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia mencoba mencari solusi untuk membayar transisi dari batu bara ke sumber energi yang lebih bersih. Hal ini termasuk Mekanisme Transisi Energi yang ditawarkan Bank Pembangunan Asia. Namun sejauh ini hanya segelintir proyek yang berjalan.
Dari 800 pembangkit listrik tenaga batu bara yang menurut IEEFA dapat dinonaktifkan, sekitar 600 di antaranya dibangun 30 tahun yang lalu atau lebih. Sebagian besar sudah membayar utang-utangnya dan tidak lagi terikat PPA.
Margin keuntungan energi terbarukan saat ini dinilai cukup untuk menutupi biaya penggantian pembangkit listrik tenaga batu bara, penonaktifan 200 pembangkit listrik yang tersisa yang dibangun antara 15 hingga 30 tahun yang lalu juga dapat dilakukan dengan biaya yang terjangkau, meskipun masih terdapat beberapa kendala, termasuk subsidi bahan bakar fosil yang meningkatkan nilai aset.
Menonaktifkan pembangkit listrik batu bara yang lebih baru akan menjadi tantangan keuangan yang lebih besar, terutama di negara-negara yang masih membangun kapasitas baru, termasuk Vietnam.
Organisasi-organisasi lingkungan mengkritik pendanaan transisi bagi perusahaan yang tetap membangun pembangkit batu bara. Jacobson mengatakan, aturan yang lebih ketat dibutuhkan guna menghindari terciptanya insentif yang salah.
"Perusahaan-perusahaan yang terus membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru sambil mencari konsesi untuk membangun energi terbarukan seharusnya tidak diizinkan untuk memanfaatkan hal tersebut untuk mendapatkan keuntungan," katanya.