REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia Zakat Watch menilai Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) memiliki kewenangan berlebih karena berperan menjadi regulator dan operator. Hal ini yang membuat Indonesia Zakat Watch menilai terjadi diskriminasi kelola zakat.
Sehubungan dengan itu, Indonesia Zakat Watch melakukan permohonan uji materiil atas Undang-Undang (UU) Zakat Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ada 11 Pasal dalam UU Zakat yang diajukan untuk direvisi.
Tim Hukum dari Indonesia Zakat Watch, Evi Risna Yanti mengatakan, harapannya sebenarnya UU Zakat dibuah sepenuhnya. Karena setiap pasal yang diajukan untuk direvisi pasti punya keterkaitan satu sama lain dengan pasal-pasal yang lainnya yang tidak bisa dimasukkan semuanya untuk diuji materiil.
"Jadi ada 11 pasal yang kita akan ajukan (untuk direvisi) itu ada pasal 5 ayat 1, pasal 6, pasal 7 ayat 1, pasal 16 ayat 1, pasal 17, pasal 18 ayat 2, pasal 19, pasal 20, pasal 38, pasal 41, dan pasal 43 ayat 3 dan ayat 4," kata Evi kepada Republika.co.id saat Konferensi Pers Indonesia Zakat Watch bertema Diskriminasi Kelola Zakat, Masyarakat Ajukan Permohonan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi di Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Kamis, (25/7/2024).
Mengenai kerugian-kerugian yang dialami lembaga amil zakat (LAZ) akibat UU Zakat, Evi menjelaskan bahwa hampir pada setiap pasal yang diajukan untuk direvisi mengakibatkan kerugian kepada LAZ.
Evi mengatakan, pihak pemohon ada Dompet Dhuafa dan Forum Zakat (FOZ) serta ada perorangan. Kerugian yang dialami Dompet Dhuafa misalnya, dimitigasi untuk bekerjasama dengan perusahaan swasta. Mitigasi tersebut yang menyebabkan berkurangnya pengumpulan dana zakat, infak dan sedekah (ZIS).
Menurut Evi, seharusnya LAZ swasta seperti Dompet Dhuafa dan lain sebagainya bisa bekerjasama dengan perusahaan swasta maupun kementerian.
Tapi jika dana zakat dari kementerian hanya bisa dihimpun oleh Baznas karena sama-sama pemerintah, maka boleh saja. Tapi dana zakat perusahaan swasta jangan ditarik juga oleh Baznas. "Kita keberatan tuh," ujar Evi.
Evi mengungkapkan aturan yang memberatkan LAZ lainnya. Lembaga amil zakat diatur agar tidak boleh membentuk kantor perwakilan lebih dari dua kantor di satu provinsi. Padahal di sebuah provinsi bisa ada belasan kabupaten dan kota.
Aturan itu soal kantor perwakilan tidak boleh dari dua di sebuah provinsi, menurut Evi itu merugikan lembaga-lembaga pengelolaan zakat, karena jadi dibatasi.
Evi mengatakan, lembaga-lembaga zakat yang ada di dalam FOZ juga hampir mengalami kerugian yang sama. Menurut Evi, banyak juga BUMN yang tidak setuju menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di bawah Baznas.
"Karena dana (zakat) mereka (BUMN), mereka yang mengumpulkan, tapi Baznas yang mengambil itu sebagai pengumpulan Baznas, kemudian mereka (UPZ BUMN) harus berbagi dengan Baznas," ujar Evi.
Evi menjelaskan, jika UPZ BUMN menghimpun zakat 100 persen, 30 persennya diserahkan ke Baznas untuk dikelola. Namun, Baznas tidak melaporkan penggunaan atau pendistribusian yang 30 persen itu ke UPZ BUMN yang menghimpunnya.
Sebaliknya, UPZ BUMN harus melaporkan penggunaan atau pendistribusian dana zakat yang dihimpun mereka ke Baznas. "Ini unsur keadilannya, unsur kesetaraannya tidak kelihatan, itu (termasuk) kerugian," ujar Evi.
Tim Hukum dari Indonesia Zakat Watch berharap Baznas dibentuk oleh negara sebagai regulator saja. Biarkan lembaga amil zakat yang dibentuk masyarakat, yang sudah lebih dulu ada dan profesional yang mengelola zakat.
Namun, Evi menyayangkan, adanya UU Zakat malah membuat kewenangan Baznas menjadi operator sekaligus regulator tata kelola zakat. Sehingga menimbulkan konflik of interest dan penyalahgunaan wewenang, bisa jadi seperti itu.
"Jadi itu yang kemudian kita sarankan Baznas jadi regulator sajalah atau Baznas jadi operator tapi copot (kewenangan sebagai) regulatornya, itu (peran regulator) diberikan kepada Kementerian Agama saja," jelas Evi.
Evi menambahkan, soal auditor juga, Kemenag punya institusinya. Kemenag punya Direktorat Zakat dan Wakaf yang akan menangani itu.
"Jadi kita sama-sama saingan fair (adil) mengumpulkan dana zakat, menyalurkan zakat, kemudian melaporkannya kepada kementerian dan kepada masyarakat karena zakat itu juga harus dilaporkan kepada masyarakat secara terbuka sama-sama," ujar Evi.