Oleh : I Wayan Sudirta, anggota wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA— Pembicaraan mengenai Program Pemberantasan Korupsi nasional, selalu menjadi topik hangat dan menjadi perhatian besar masyarakat. Persoalan ini selalu timbul dan seolah tida pernah menemui jalan keluarnya. Angka akasus korupsi tetap besar meski telah banyak upaya untuk meningkatkan efektivitas program pemberantasan korupsi di Indonesia.
Belakangan ini, berhembus isu yang menarik perhatian masyarakat yakni adanya anggapan bahwa proses seleksi Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK 2024 mendapat intervensi.
Isu yang beredar menerpa proses pemilihannya setelah adanya dugaan atau anggapan tentang beberapa calon yang merupakan pejabat negara mundur karena ketiadaan “rekomendasi” istana atau merasa tidak akan sanggup bersaing dengan para calon “titipan” istana (Presiden).
Meski begitu, beberapa pihak tetap positif dan mempercayai kerja Pansel bentukan Presiden tersebut, walaupun banyak juga yang meragukannya dengan menyebut Pansel seperti “tersandera”. Namun bagaimana sebenarnya proses seleksi Capim KPK yang selama ini berlangsung dan bagaimana cara menjamin netralitas atau independensinya.
Check and balances
Perlu kita pahami bersama bahwa secara filosofis, KPK merupakan aparat penegak hukum yang berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif namun menjalankan tugas penegakan hukum yang merupakan fungsi yudisial, yakni untuk menjamin supremasi hukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan (maachstaat).
KPK merupakan alat negara dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (seperti UU KPK dan UU Tipikor). Peran dan fungsi KPK tentu untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan melalui berbagai tugas dan kewenangannya di bidang pemberantasan korupsi. Melalui UU, KPK dinilai juga memiliki kewenangan extra-ordinary karena juga memiliki kewenangan untuk koordinasi dan supervisi disamping memberi penguatan kepada aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan).
Seiring berjalannya waktu (dari lahirnya pada 2002 hingga 2024) ini, KPK telah melalui berbagai pengalaman dalam pelaksanaan program pemberantasan korupsi. KPK telah berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah petinggi negara, termasuk petinggi politik dan pengusaha besar.
NU Tegal Respons Buku Sejarah Sebut Kakek Habib Luthfi Pekalongan Pendiri NU
http://republika.co.id/berita//shj9ts320/pcnu-tegal-respons-buku-sejarah-sebut-kakek-habib-luthfi-pekalongan-pendiri-nu
Namun dalam perjalanannya, tidak sedikit juga KPK mengalami “pelemahan” atau perlawanan, dimulai dari kasus “suro vs boyo”, skandal etik Pimpinan KPK, hingga terakhir kasus pemerasan. KPK juga silih berganti mengalami pasang surut, tidak hanya dari kendala dalam pengungkapan kasus korupsi, namun juga prahara internal KPK. Semua fenomena ini kemudian memberikan citra bahwa KPK mudah dijadikan alat politisasi.
Beberapa media bahkan menyebut Presiden berupaya melakukan pelemahan terhadap KPK secara “perlahan namun pasti” karena menganggap KPK justru menjadi hambatan atau kontraproduktif dengan upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi.
Presiden bahkan diduga menggunakan kekuatan dan kekuasaan hingga berupaya melibatkan DPR untuk menampilkan legalisme otokrasi. Isu semacam ini sesungguhnya terus ada dan beredar dari dulu hingga saat ini, bahwa KPK menjadi alat politik atau kekuasaan.
Banyak pihak mempertanyakan...