Sabtu 24 Aug 2024 09:15 WIB

Bea Masuk Punitif UE Ancam Pasokan Baterai EV China, Picu Perang Dagang Baru

China mengkritik keputusan Komisi Eropa untuk memberlakukan bea masuk punitif.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Foto yang diambil pada 15 Februari 2023 ini menunjukkan salah satu pabrik kendaraan listrik (EV) China  di Changzhou, Provinsi Jiangsu, (ilustrasi)
Foto: Xinhua
Foto yang diambil pada 15 Februari 2023 ini menunjukkan salah satu pabrik kendaraan listrik (EV) China  di Changzhou, Provinsi Jiangsu, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China mengkritik keputusan Komisi Eropa untuk memberlakukan bea masuk punitif terhadap impor kendaraan listrik baterai (BEV) dari China. Media pemerintah China, People Daily Online melaporkan sejumlah pakar mengatakan keputusan itu dapat memicu perang dagang dan memperlambat ambisi nol-emisi Uni Eropa.

Dalam keputusan Selasa (20/8/2024) Komisi Eropa menjatuhkan bea masuk punitif untuk baterai kendaraan listrik SAIC sebesar 36,3 persen, Geely sebesar 19,3 persen, BYD 17 persen dan Tesla sebesar 9 persen.

Baca Juga

Direktur Pusat Studi Eropa di Universitas Fudan di Shanghai, Ding Chun mengatakan keputusan komisi tersebut “sangat disesalkan”. Ding mengatakan baik Cina maupun Uni Eropa seharusnya tidak berusaha mendapatkan apa yang paling optimal bagi diri mereka sendiri, tetapi hasil terbaik bagi keduanya.

“Mereka harus bersikap rasional dan praktis serta menangani perselisihan ini dengan hati-hati untuk menghindari perang dagang, yang hasilnya akan merugikan kedua belah pihak,” kata Ding seperti dikutip People Daily Online, Jumat (23/8/2024) lalu.

Ding menambahkan perselisihan ini harus diselesaikan melalui persaingan yang sehat dan kerja sama untuk mempromosikan industri kendaraan energi terbarukan. “Proteksionisme tidak akan membantu mempercepat kemajuan teknologi dan peningkatan industri, atau memenangkan persaingan dan pasar atau memuaskan pelanggan,” katanya.

Peneliti Pusat Masyarakat dan Lingkungan lembaga think-tank asal Inggris, Chatham House Chris Aylett juga menyuarakan keprihatinannya. Ia mengatakan bea masuk punitif yang diberlakukan Uni Eropa akan memperlambat transisi hijau di blok tersebut.

Dalam artikel yang dipublikasikan di situs Chatham House, Aylett menulis teknologi dekarbonisasi seperti panel surya, turbin angin, dan mobil listrik memiliki karakteristik yang berbeda dari barang lainnya. “Ketika digunakan sebagai alternatif bahan bakar fosil, teknologi ini mengurangi jumlah gas penghasil panas bumi yang dipompa ke atmosfer. Mereka dibutuhkan dalam jumlah yang sangat besar, dan dalam waktu yang sangat singkat, untuk memberikan kesempatan untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim,” tulisnya.

Ia berpendapat target ambisius Uni Eropa untuk mencapai nol pada tahun 2050 dan target jangka-menengahnya untuk setidaknya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebanyak 55 persen pada tahun 2030, “menyiratkan penggunaan produk teknologi bersih seperti panel surya dan kendaraan listrik dalam jumlah yang sangat besar.”

“Dalam hal teknologi bersih yang murah, China adalah pemimpin dunia yang tidak perlu dipersoalkan lagi," tulis Ayleet.

Ia mengatakan selama dua dekade terakhir China memiliki kebijakan industri yang konsisten dan terarah. Hal ini  dikombinasikan dengan pasar domestik yang besar, saat ini China dapat memproduksi barang-barang rendah karbon dengan harga yang sangat kompetitif, dan berkualitas tinggi.

Aylett mencontohkan mobil listrik termurah di Prancis tahun lalu dijual dengan harga antara 24 ribu dolar AS hingga 32.500 dolar AS. Sementara di China, lebih dari 50 model dijual di pasar lokal dengan harga kurang dari 15 ribu dolar AS. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement