REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Banyak persoalan syariat yang menjadi perhatian banyak keluarga dalam masyarakat kita saat ini, salah sautunya peran istri dan ketaatannya pada suami, dengan bertanya: Apakah ini merupakan masalah ketaatan yang sepenuhnya atau apakah ada kerangka kerja khusus yang harus diperhatikan dalam ketaatan ini?
Islam sangat mementingkan keluarga, tetapi juga menarik garis yang jelas untuk memastikan bahwa hak-hak kedua belah pihak, suami dan istri, dihormati.
Dosen pembantu Universitas Al-Azhar Mesir, Said as-Syarqawi, dikutip dari Masrawy, Kamis (29/8/2024), menjelaskan terdapat tiga kondisi dimana seorang istri tak perlu lagi menaati suami.
Yang pertama adalah ketika suami meninggalkan tanggung jawab. “Ketika suami tidak bertanggung jawab dan tidak memberikan nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan makanan, atau dia tidak bekerja dan istri yang bekerja dan membelanjakan rumah, maka istri tidak boleh menaati dia atau menanggapinya dalam hal apa pun, karena hak untuk menaati terkait dengan tanggung jawab,” kata dia.
“Sebelum Anda menuntut istri Anda untuk menaati Anda, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjadi suami yang bertanggung jawab,” kata Syarqawi, menjelaskan.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS an-Nisa: 34).
Imam Al-Razi mengatakan bahwa suami itu bagaikan penggembala dan pangeran, dan istri bagaikan gembala dan yang diperintah, maka suami harus menjaga dan memperhatikan kepentingannya, dan sebagai gantinya, istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya.
Syekh Syarqawi menjelaskan adapun hal kedua yang menyebabkan seorang suami kehilangan hak ketaatan kepada istrinya, terjadi ketika suami memerintahkan istrinya untuk bermaksiat kepada suami. Hal ini merujuk berdasarkan sabda Nabi SAW:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah,” (HR. Bukhari dan Muslim):
Guru besar Universitas Al-Azhar ini menjelaskan, ketika seorang wanita datang kepada Nabi SAW untuk bertanya apakah boleh menyambung rambutnya setelah istrinya meminta hal itu menyusul rontok akibat sakit. Lalu Rasulullah SAW melarangnya, karena mereka yang menyambung rambutnya dilaknat Allah SWT.
“Jadi hak ketaatan terikat dengan kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Demikian pula, jika seorang suami meminta istrinya untuk melakukan jima lewat anus atau mencegahnya berpuasa wajib, istrinya memiliki hak untuk menolaknya karena suami tidak boleh menghalanginya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah.
Al-Syarqawi menambahkan, adapun hal terakhir yang menghilangkan hak ketaatan adalah ketika suami meminta istrinya untuk melakukan sesuatu yang melebihi kemampuannya, karena ketaatan adalah sesuai dengan kemampuannya, bahkan Nabi saw. memerintahkan ketika seseorang mempekerjakan pembantu untuk tidak membebani mereka melebihi kemampuannya, “Ini untuk pembantu, bagaimana dengan istrimu dan pasangan hidupmu?”
Keseimbangan..