REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Sentral AS atau The Federal Reserve dikabarkan bersiap untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Menanggapi hal tersebut dan dampaknya terhadap Indonesia, pengamat menilai bahwa penurunan Fed Funds Rate (FFR) memang telah dinantikan bagi Indonesia, namun Bank Indonesia (BI) sejauh ini masih mengambil ‘jalan aman’.
“Peluang FFR turun pada rapat FOMC 19 September depan memang besar sekali. Mengingat tren inflasi di AS sudah turun,” kata Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligences, Sunarsip saat dihubungi Republika, Ahad (8/9/2024).
Inflasi AS saat ini tercatat sudah berada di bawah 3 persen (year on year/ yoy). Di sisi lain, Sunarsip menjelaskan, perekonomian AS juga membutuhkan stimulus untuk mendorong pertumbuhannya. Data menunjukkan, tingkat pengangguran di AS masih belum berkurang, tercatat pada Juli 2024 naik menjadi 3,4 persen dari sebelumnya 3,2 persen.
“Untuk mengurangi angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi perlu didorong. Salah satunya adalah menurunkan suku bunga,” tuturnya.
Terlebih, saat ini PMI Manufaktur Amerika Serikat sudah kembali berada pada zona konstraktif, sehingga aktivitas manufaktur perlu insentif untuk kembali mendorong pertumbuhan aktivitas produksinya.
“Bagi Indonesia, penurunan FFR tersebut sebenarnya sudah sangat dinantikan oleh Bank Indonesia,” ungkap Sunarsip.
Hal itu dinantikan terlebih karena data inflasi Indonesia juga sudah bergerak rendah. Di samping pertumbuhan ekonomi yang konsisten berada di angka yang terjaga di atas 5 persen, di tengah kondisi ketidakpastian global.
“Namun, BI cenderung memilih ‘jalan aman’ dengan tidak terburu-buru menurunkan suku bunga acuannya, BI-Rate. BI khawatir, bila suku bunga BI Rate diturunkan, akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dengan demikian, BI lebih aman menunggu penurunan FFR,” jelasnya.
Sunarsip menuturkan, bila suku bunga acuan AS/ FFR diturunkan dalam waktu dekat ini, peluang bagi BI untuk menurunkan BI Rate-nya bisa terjadi pada bulan depan.
“Peluang bagi penurunan BI Rate pada Oktober tersebut terbuka cukup lebar, mengingat nilai tukar rupiah saat ini sudah relatif menguat dalam sebulan terakhir ini,” terangnya.
Sebelumnya diketahui, para pejabat bank sentral AS atau The Federal Reserve telah mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk memulai serangkaian pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC mendatang. Isyarat itu dengan mencatat adanya pendinginan di pasar tenaga kerja yang dapat meningkat menjadi lebih buruk jika tidak ada perubahan kebijakan.
Mengutip dari Reuters, pernyataan mereka secara luas dianggap mendukung pengurangan seperempat poin persentase dalam suku bunga kebijakan The Fed. Dan membiarkan pintu terbuka untuk pergerakan lebih lanjut dan mungkin lebih besar jika pasar kerja terus melambat.
Para pembuat kebijakan telah mempertahankan suku bunga pinjaman acuan The Fed dalam kisaran 5,25-5,50 persen saat ini sejak Juli 2023, setelah kampanye kenaikan suku bunga agresif yang dimulai 18 bulan sebelumnya sebagai respons terhadap lonjakan inflasi.
Inflasi menurut ukuran yang disukai The Fed sekarang jauh lebih rendah dari puncaknya pada pertengahan 2022 sekitar 7 persen. Tingkat pengangguran pada 3,5 persen ketika Fed berhenti menaikkan suku bunga, kini telah meningkat menjadi 4,2 persen, dan pertumbuhan lapangan kerja bulanan telah melambat.
Bankir sentral AS telah mengubah kebijakan moneter, menyelesaikan peralihan mereka ke fokus mendukung lapangan kerja dari yang sebelumnya hanya fokus pada penurunan inflasi.
“Sekarang sudah tepat untuk mengurangi tingkat pembatasan dalam sikap kebijakan dengan mengurangi kisaran target untuk suku bunga dana Federal,” kata Presiden Fed New York John Williams di acara Council on Foreign Relations, dikutip Ahad (8/9/2024).
Dua pekan lalu, Ketua Fed Jerome Powell memicu spekulasi intens tentang besarnya pemotongan suku bunga September ketika ia mengatakan ‘waktunya telah tiba’ untuk melonggarkan kebijakan.