REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, mengatakan sebaiknya terdakwa kasus pemeliharan hewan dilindungi, Nyoman Sukena, diberikan hukuman peringatan saja. Nyoman hanya tidak tahu memelihara Landak Jawa adalah hal yang dilarang.
Hal ini disampaikan Muzakir menanggapi kasus yang viral di media sosial tentang Nyoman Sukerta, yang harus menghadapi proses hukum karena memelihara Landak Jawa. Binatang dilindungi itu diketemukan Sukena dan dipelihara hingga berkembang biak.
Menurut Muzakir, warga yang memilihara binatang yang dilindungi harus mendapatkan izin dari pihak terkait. “Pertanyaannya, kalau orang tidak tahu dan memeliharanya dikenakan pidana?. Dalam konteks ini, perlu penegakkan hukum yang bijaksana. Baik itu penyidiknya, penuntutnya, maupun hakimnya,” kata Muzakir, Rabu (11/9/2024).
Muzakir mengatakan, sekalipun tidak mendapatkan izin, harus dilihat juga bagaimana pelaku memelihara Landak Jawa tersebut. “Apakah ada penyiksaan, diperjualbelikan, atau justru diperlakukan dengan baik penuh kasih sayang. Kalau seperti itu yang menurut saya perlu kebijaksanaan. Dalam artian tujuan utama dari larangan itu (memelihara binatang dilindungi) tercapai,” kata dia.
Melihat dari kasus Nyoman Sukena yang tidak tahu soal binatang yang dilindungi, memelihara Landak Jawa dengan baik, menurut Muzakir, sebaiknya yang bersangkutan diberikat teguran agar tidak memelihara lagi. “Kan banyak orang yang juga tidak tahu mana yang dilindungi dan tidak dilindungi,” ungkapnya.
Muzakir mengatakan, dalam pengambilan keputusan maka harus diperhatikan hal-hal lain, yang tidak sebatas persoalan memelihara tanpa izin. “Kalau kesalahannya hanya tidak ada izin maka izin itu hanya pelanggaran izin, masuk ke dalam ranah administrasi,” kata Muzakir.
Jika hanya masalah administrasi, lanjut Muzakir, maka binatang tersebut dikembalikan ke habitatnya melalui lembaga yang berkompeten. “Jadi hukumannya diambil barangnya. Jadi tidak perlu ada hukuman yang terlalu kejam untuk masalah ini,” kata dia.
Nyoman Sukena (laki-laki 25 tahun) asal Badung, Bali didakwa di PN Denpasar atas kasus pemeliharaan Landak Jawa. Kepolisian di Bali, menangkap Nyoman Sukena sejak Maret 2024 lalu atas laporan dari masyarakat. Mengacu dakwaan yang sudah dibacakan JPU pekan lalu, Nyoman Sukena dijerat dengan Pasal 21 ayat (2) a juncto Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990. Nyoman Sukena terancam lima tahun penjara.
Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak bisa menerapkan restorative justice (RJ) terkait kasus Landak Jawa yang menyeret Nyoman Sukena ke kursi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar mengatakan, kasus terkait dengan pemeliharaan satwa dilindungi tersebut, tak menjadikan orang lain sebagai korban.
Kata Harli, kasus tersebut menjadikan negara sebagai korban. Dan dalam salah-satu persyaratan penerapan RJ, mengharuskan adanya korban dari pihak lain, atau perorangan. “Tidak diterapkan RJ karena tidak memenuhi persyaratan dilakukannya RJ. Misalnya, dalam perkara ini tidak ada korban (perorangan). Jadi negara adalah korbannya,” begitu kata Harli kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Harli mengatakan, kasus yang menyeret Nyoman Sukena tersebut terkait dengan memelihara Landak Jawa. Binatang tersebut, termasuk dalam satwa yang dilindungi menurut Undang-undang (UU) 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dan Ekosistemnya. Kata Harli, dari pendakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terungkap, Nyoman Sukena memelihara Landak Jawa dengan tujuan penangkaran, dan pengembangbiakan.