Jumat 13 Sep 2024 15:41 WIB

Berkaca dari Kasus Nyoman Sukena, Pahami Hukum Pelihara Landak Jawa

Mengapa memelihara landak jawa bisa dijerat pidana?

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Landak jawa (ILUSTRASI).
Foto: Antara/Bowo Sucipto
Landak jawa (ILUSTRASI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- I Nyoman Sukena (38 tahun) warga Bongkasa Pertiwi, Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, berakhir menjadi tahanan rumah setelah terjerat kasus hukum lantaran memelihara landak jawa (Hystrix javanica). Ia didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Mengapa memelihara landak jawa bisa dijerat pidana? Landak jawa merupakan jenis pengerat yang termasuk pada satwa dilindungi undang-undang berdasarkan Peraturan Menteri LHK No.P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2028 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi.

Mengingat statusnya yang dilindungi, landak jawa tidak bisa dipelihara secara sembarangan. Jika ada yang ingin memelihara atau membuka penangkaran landak jawa maka harus mengajukan izin terlebih dahulu ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Adapun jika ada yang memelihara landak jawa tanpa izin, maka bisa terjerat hukuman pidana seperti halnya I Nyoman Sukena.

Ada beberapa peraturan perundangan yang mengatur satwa yang dilindungi. Pertama, Pasal 21 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup atau mati.

“Bagi yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap pasal di atas maka bisa dipidana penjara hingga lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Sedangkan bagi yang lalai melakukan pelanggaran tersebut dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda yang paling banyak lima puluh juta rupiah,” demikian menurut peraturan tersebut, dikutip dari laman KLHK, Jumat (13/9/2024).

Selanjutnya, ada juga aturan lanjutan terkait izin penangkaran. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Mengenai satwa yang berada pada unit penangkaran, maka ketentuan yang diacu adalah Permenhut Nomor P19 tahun 2015, khususnya paragraf 2 mengenai pengadaan dan legalitas asli induk.

Unit penangkaran sendiri adalah unit usaha yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau dijadikan objek yang dapat menghasilkan keuntungan secara komersial dari hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya. Spesimen hasil pengembangbiakan generasi kedua dan berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P 19 Tahun 2005.

Pemegang izin penangkaran juga berkewajiban melakukan Penandaan Spesimen Hasil Penangkaran, yang dilakukan dengan tanda yang bersifat permanen, baik dalam bentuk tag, cap, atau label pada bagian tubuh hewan. Tujuannya untuk membedakan antara sesama indukan, indukan dengan anakan, anakan dengan anakan lainnya, atau antara specimen hasil penangkaran dengan spesimen hasil penangkaran dari alam.

“Karena itu, spesimen hasil penangkaran wajib diberi penandaan untuk membedakan spesimen hasil penangkapan dari habitat alam atau hasil pengembangbiakan generasi pertama atau hasil pengembangbiakan generasi kedua dan seterusnya,” demikian menurut KLHK.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement