Senin 16 Sep 2024 06:01 WIB

Bagaimana Mulanya Arab Pra-Islam Menyembah Berhala?

Ada peran Amr bin Luhaiy dalam memperkenalkan berhala pada orang-orang Arab.

Pemandangan Kota Makkah terlihat dari Jabal Nur. Masa Jahiliyah bermula dari praktik penyembahan berhala.
Foto: Republika/Muhyiddin
Pemandangan Kota Makkah terlihat dari Jabal Nur. Masa Jahiliyah bermula dari praktik penyembahan berhala.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makkah berada pada ketinggian lebih dari 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah seluas 1.200 km persegi di Hijaz, Jazirah Arab, ini dikelilingi beberapa gunung, termasuk Jabal Abu Qubais dan Qa’qaan. Sumur Zamzam menjadi sumber air andalan kota yang beriklim gurun tersebut sejak empat ribu tahun silam hingga saat ini.

Pusat kota ini adalah Ka’bah, Masjidil Haram, yang diyakini sebagai masjid pertama di muka bumi. Bangunan tersebut ditegakkan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Penduduk Makkah memandang keduanya sebagai leluhur yang utama.

Baca Juga

Pada mulanya, masyarakat Makkah setia dengan ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yakni menyembah hanya kepada Allah SWT serta tidak menyekutukan-Nya. Namun, dari waktu ke waktu keyakinan monoteisme atau tauhid itu memudar. Sebagian warga kota tersebut, termasuk kalangan elitenya, mudah dipengaruhi paganisme, yaitu kepercayaan yang memuja alam dan menyembah banyak dewa.

Orang pertama yang memperkenalkan paganisme kepada bangsa Arab adalah Amr bin Luhaiy bin Qam'ah. Ia merupakan pemimpin Suku Khuza'ah yang terbiasa mengadakan perjalanan jauh ke luar Jazirah. Sejarawan dari abad kesembilan Ibnu Hisyam, sebagaimana dinukil Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, menerangkan kisahnya.

Suatu ketika, Amr bin Luhay menyambangi Negeri Syam (Suriah) untuk memenuhi beberapa urusannya. Ia pun tiba di Ma’ab, kawasan Balqa'. Waktu itu, kota tersebut dihuni orang-orang Amalek, yang namanya merujuk pada Amlaq bin Lawidz bin Sam bin Nabi Nuh AS.

Amr mendapati, kebanyakan penduduk lokal melakukan ritual-ritual pemujaan terhadap patung. “Apa patung-patung yang kalian sembah itu?” tanya Amr kepada mereka.

“Patung-patung itu kami sembah untuk meminta hujan, sehingga kami diberi hujan. Kami meminta kemenangan, sehingga kami diberi kemenangan,” jawab tokoh setempat. Ternyata, penjelasan itu membuatnya kagum.

“Maukah kalian memberikan kepadaku satu di antara patung-patung itu, yang bisa kubawa ke negeriku?” pinta Amr.

Mereka pun memberikan kepadanya sebuah patung yang bernama Hubal. Begitu kembali ke Makkah, Amr meletakkan Hubal di sisi Ka'bah. Kemudian, ia mengimbau orang-orang untuk menghormati berhala ini, khususnya saat sedang bertawaf atau sebelum meninggalkan Masjidil Haram.

Lambat laun, ajakan itu diterima luas masyarakat. Dari generasi ke generasi, mayoritas penduduk Makkah semakin jauh dari millah (jalan) Ibrahim. Ka’bah pun menjadi kotor karena dipenuhi dengan banyak berhala.

Menurut al-Buthy, tampak adanya kontradiksi kaum musyrikin Makkah. Di satu sisi, mereka dengan bangga mengaku sebagai keturunan Nabi Ibrahim AS. Di sisi lain, mereka justru mengikuti ajaran yang bersumber dari luar Jazirah Arab, paganisme, sehingga meninggalkan esensi millah Ibrahim—menyembah hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement