Ahad 22 Sep 2024 09:18 WIB

Lika-Liku Pembebasan Kapten Philip dari Penyanderaan OPM

Pembebasan Kapten Philip diwarnai sejumlah insiden berdarah.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Fitriyan Zamzami
Suasana menjelang penyerahan sandera Philip Mark Mehrtens di Nduga, Sabtu (21/9/2024).
Foto: Dok TPNPB
Suasana menjelang penyerahan sandera Philip Mark Mehrtens di Nduga, Sabtu (21/9/2024).

Oleh Bambang Noroyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia membantah pembebasan Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens dari penyanderaan oleh separatis bersenjata Papua Merdeka dilakukan dengan membayar tebusan. Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menegaskan, pembebasan kapten berkebangsaan Selandia Baru itu dilakukan tanpa operasi bersenjata, pun tanpa pemenuhan permintaan tuntutan atau tebusan. 

Baca Juga

“Tidak ada. Tidak ada mereka minta. Kita hanya melakukan pendekatan persuasif,” begitu kata Hadi di Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur (Jaktim), Sabtu (22/9/2024) malam. Hadi mengatakan, pembebasan Kapten Philip, dilakukan melalui upaya panjang proses negosiasi damai selama penyanderaan. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu juga mengatakan, negosiasi dengan kelompok separatis bersenjata Egianus Kogeya di Nduga, Papua Pegunungan itu, selama ini melibatkan banyak pihak, dan perorangan. Mulai dari tokoh-tokoh masyarakat, adat, dan keagamaan. 

“Dan kita bersyukur, apa yang kita inginkan di lapangan bisa berjalan dengan sangat baik,” kata Hadi. Hadi di Lanud Halim, bersama-sama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjemput kepulangan Kapten Philip dari Timika, yang diterbangkan ke Jakarta usai pembebasan. Kapten Philip, dibebaskan oleh separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada Sabtu (21/9/2024) di Kampung Yuguru, Nduga. Setelah dijemput oleh Pasukan Gabungan TNI-Polri dalam Operasi Damai Cartenz di Distrik Meborok, Kapten Philip dibawa ke Timika, Papua Tengah. 

Hadi melanjutkan, selama pembebasan, tak ada satupun letupan senjata. “Pembebasan ini adalah proses negosiasi yang sangat panjang, dengan mengedepankan soft approach. Karena semuanya kita lakukan demi keselamatan pilot Kapten Philips Marthens,” ujar Hadi. “Bahwa dalam pembebasan ini, proses negosiasi juga melibatkan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh gereja, yang semuanya sangat memengaruhi proses pembebasan,” sambung Hadi. 

Setelah diterbangkan dari Timika, dan sampai di Jakarta, Kapten Philip kata Hadi, pun langsung diserahkan kepada Duta Besar Selandia Baru Kevin Burnett yang turut menjemput. “Proses pembebasan ini, adalah hasil kerja keras kita bersama. Dan kita patut untuk bersyukur, bahwa pilot Kapten Philip saat ini sudah kita serahkan kepada Duta Besar Selandia Baru. Dan seluruh tanggung jawab sudah berada di Bapak Dubes Selandia Baru,” begitu sambung Hadi. Saat diserahkan ke Dubes Selandia Baru, kata Hadi memastikan, Kapten Philip, pun sudah menjalani tes kesehatan, dan psikologis yang menyimpulkan dalam kondisi prima.

Kapten Philip adalah pilot maskapai penerbangan sipil perintis Susi Air milik pengusaha dan mantan menteri Susi Pudjiastuti. Pada 7 Februari 2023, Kapten Philip menerbangkan pesawat berpenumpang sipil dari Bandara Mozes Kilangin, di Mimika menuju Lapangan Udara Paro di Nduga. Tiba di wilayah tersebut, kelompok separatis bersenjata Papua Merdeka yang dipimpin oleh Egianus Kogeya melakukan penyerangan. Sayap bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-OPM itu membebaskan para penumpang. 

Namun kelompok bersenjata itu, membakar pesawat, dan menyandera Kapten Philip. TPNPB-OPM sempat menyampaikan beragam tuntutan untuk melepaskan Kapten Philip. Mulai dari tuntutan perundingan Papua Merdeka, sampai dengan meminta otoritas keamanan TNI-Polri angkat kaki dari Tanah Papua. Namun begitu, beragam tuntutan tersebut, tak pernah digubris. Polda Papua bersama Satgas Damai Cartenz, pada Maret 2023 pernah merilis 15 anggota kelompok separatis bersenjata yang melakukan penyerangan, dan penyanderaan di Lapangan Paro itu. 

Selama 1 tahun 7 bulan sejak penyanderaan, upaya membebaskan Kapten Philip dilakukan dengan berbagai cara. Melalui negosiasi, maupun komunikasi kekeluargaan dengan melibatkan banyak tokoh masyarakat, dan adat, serta dari kalangan gereja. Akan tetapi, TNI-Polri, pun melakukan pendekatan melalui operasi-operasi militer sebagai upaya keras dalam misi membebaskan Kapten Philip. Dari banyak operasi militer yang dilakukan oleh TNI, dan Polri, maupun pasukan gabungan untuk membebaskan Kapten Philip, merenggut belasan nyawa prajurit dalam kontak tembak.

Paling tragis saat operasi militer pembebasan yang dilakukan pada 15 April 2023. Ketika itu, kontak tembak dengan separatis OPM di Pos Mugi, di Nduga menewaskan sedikitnya enam prajurit Kostrad. Pada November 2023 kontak tembak di wilayah penyanderaan Kapten Philip juga menewaskan sedikitnya empat prajurit Angkatan Darat (AD). Ragam peristiwa kontak tembak TNI-Polri dengan kelompok separatis bersenjata Papua Merdeka di Nduga itu, juga membawa korban sipil yang sampai saat ini tak diketahui jumlah pastinya. 

Namun yang tercatat, satu pegiat, dan aktivis perempuan asli di Papua, yakni Michelle Kurisi Ndoga menjadi salah-satu korban pembunuhan oleh separatis karena dituduh menjadi mata-mata TNI-Polri. Ragam upaya pembebasan Kapten Philip, melalui negosiasi, dan operasi-operasi militer membawa situasi keamanan di Bumi Cenderawasih sejak Februari 2023 semakin meruncing, dan rawan. TPNPB-OPM bahkan sempat mengumumkan seluruh wilayah Papua sebagai zona perang dengan Indonesia. Dan melarang seluruh aktivitas penerbangan sipil di Papua.

Atas situasi tersebut, beragam kekerasan berupa penyerangan, penembakan, dan pembunuhan semakin meluas dilakukan oleh kelompok separatis yang menargetkan sipil, maupun prajurit-prajurit TNI-Polri di Papua. Beberapa penyerangan yang dilakukan oleh kelompok separatis semakin nekat menyasar objek-objek vital seperti lapangan udara. Kelompok separatis Papua Merdeka, bahkan menembaki pesawat-pesawat penerbangan sipil di beberapa wilayah yang membuat sebagian maskapai penerbangan perintis, menolak untuk terbang. 

Salah-satu yang menolak terbang, adalah Susi Air, yang diikuti oleh maskapai Trigana Air, dan juga Wings Air. Padahal penerbangan-penerbangan sipil perintis di Papua, selama ini menjadi sarana transportasi paling utama yang bisa menghubungkan antar wilayah di Bumi Cenderawasih. Pesawat-pesawat perintis tersebut, menjadi moda transportasi utama dalam distribusi kebutuhan pokok antar wilayah untuk masyarakat Papua sampai ke pedalaman. Juga transportasi paling efektif dalam distribusi logistik obat-obatan, dan sarana, serta tenaga medis antar wilayah di pedalaman Papua.

Pada pekan pertama Agustus 2024, setelah lebih dari setahun enam bulan menyandera Kapten Philip, pemimpin separatis bersenjata Papua Merdeka di Nduga, Egianus Kogoya pernah menyampaikan akan membebaskan pilot asal Selandia Baru itu ke Indonesia. Pembebasan sandera ketika itu, disampaikan resmi oleh Egianus Kogoya melalui siaran pers video yang diterima kalangan wartawan di Jakarta. Pada 3 Agustus 2024, Egianus menyampaikan pembebasan Kapten Philip dengan alasan kemanusian.

“Kami bicara kemanusian tentang pilot. Saya pesan, untuk tokoh-tokoh gereja, maupun tokoh-tokoh semua, dan masyarakat, saya minta yang mau bicara dengan pilot, datang ke lapangan, berhadapan dengan saya,” begitu ujar Egianus. Markas Pusat TPNPB-OPM, melalui Juru Bicaranya Sebby Sambom pun melalui siaran pers, mendukung pembebasan Kapten Philip tersebut. Akan tetapi, rencana melepaskan Kapten Philip ketika itu batal dilakukan. Selang dua hari setelah Egianus mengumumkan pembebasan Kapten Philip, Senin (5/8/2024) kelompok separatis bersenjata di Mimika, melakukan penyerangan dan pembunuhan.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (republikaonline)

Kelompok bersenjata tersebut, menyerang penerbangan helikopter sipil PT Intan Angkasa Air Service. Helikopter tersebut membawa empat penumpang dewasa, petugas medis, dan dua balita dari Bandara Mozes Kilangin, ke Lapangan Udara di Distrik Alama. Para penumpang adalah orang asli Papua yang selamat dari penyerangan tersebut. Namun sang pilot, yakni Kapten Glenn Malcolm Conning tewas ditempat. Pilot 50-an tahun yang juga asal Selandia Baru itu, diduga tewas karena ditembak, dan dibacok pada bagian lengan kirinya. 

Pasukan Damai Cartenz dalam siaran pers, pernah menuding kelompok separatis dari Nduga yang melakukan penyerangan tersebut. Tetapi sampai saat ini, TPNPB-OPM menolak bertanggung jawab atas penyerangan dan kematian Kapten Glenn Malcolm itu. Sebulan setelah peristiwa penyerangan dan pembunuhan di Distrik Alama itu, pada Selasa (17/9/2024) TPNPB-OPM kembali menawarkan proposal pembebasan Kapten Philip. Dan pada Sabtu (21/9/2024) nasib penyanderaan 1 tahun 7 bulan yang dialami Kapten Philip berakhir dengan selamat. Pilot 37 tahun asal Selandia Baru itu, pun dibebaskan.

“Hello everybody (halo semuanya). Semoga kita semua baik. Akhirnya saya sudah keluar (bebas). saya senang sekali sudah bisa pulang, dan kembali bersama keluarga lagi. Dan terimakasih dengan semua orang yang membantu hari ini saya bisa keluar dengan kondisi yang aman, dan sehat. Terimakasih banyak semua,” begitu kata Kapten Philip saat menyampaikan pernyataannya saat dibawa ke Markas Militer di Timika, Papua Tengah, Sabtu (21/9/2024). 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement