REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan pemerintahan Prabowo Subianto harus menaruh perhatian besar terhadap empat sektor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas. Wijayanto menyampaikan pemerintah Prabowo sebaiknya fokus pada kualitas pertumbuhan ekonomi dan bukan menyasar pada kecepatan pertumbuhan ekonomi.
"Jangan jadikan (target pertumbuhan ekonomi) delapan persen sebagai dogma. Jadikan sesuatu yang dikejar, ok, tapi kalau menjadi dogma delapan persen, itu bahaya," ujar Wijayanto dalam diskusi bertajuk "Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi)" di Jakarta, Ahad (22/9/2024).
Poin kedua, ucap Wijayanto, mendorong kembali sektor industri manufaktur yang merosot di masa sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Wijayanto mengaku khawatir dengan perkembangan sektor manufaktur Indonesia ke depan.
Wijayanto teringat dengan kondisi krisis 98 yang mana banyak pengusaha manufaktur beralih ke sektor industri sumber daya alam (SDA). Wijayanto menyebut indikasi peralihan usaha tersebut pun mulai terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
"Mereka (pengusaha manufaktur) merasa putus asa tidak dibantu pemerintah. Bayangkan banyak industrialis kita yang hampir putus harapan dan mereka bahkan sudah mempunyai rencana untuk menjadi trader SDA yang lebih minim risiko," ucap Wijayanto.
Poin ketiga, lanjut Wijayanto melanjutkan, pemerintahan Prabowo harus melakukan perencanaan matang dalam mengerjakan sejumlah proyek strategis. Prabowo, ucap Wijayanto, jangan mengulang kesalahan Jokowi yang gegabah dalam membangun sejumlah proyek dengan dampak ekonomi yang minim.
"Jangan terulang lagi model pembangunan seperti kereta cepat dan IKN," sambung dia.
Terakhir, Wijayanto mendorong pemerintahan berikutnya menggunakan mata hati sebelum pengambilan keputusan. Wijayanto menyampaikan dampak pembangunan tak melulu soal angka, melainkan juga aspek sosial seperti lingkungan dan juga kesehatan yang krusial bagi masyarakat.
"Ini yang seringkali absen dalam proses pengambilan keputusan. Semua dibahas seperti angkanya, berapa persen pertumbuhan, tetapi mata hati kita kadang-kadang kurang dikedepankan," kata Wijayanto.