REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktor senior sekaligus Duta Festival Film Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot, mengungkap pandangannya mengenai popularitas film bergenre horor di Indonesia. Menurutnya, antusiasme masyarakat terhadap genre horor tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi akan hal mistis.
"Kepercayaan hal-hal berbau mistis itu di Indonesia masih sangat tinggi. Keluarga-keluarga di Indonesia itu misalnya sering mengaitkan sesuatu hal dengan sesuatu mistis," kata Slamet dalam diskusi media di Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (26/9/2024).
Ia mengatakan fenomena ini sangat berbeda dengan negara-negara Barat seperti AS. Menurut dia, di AS kepercayaan terhadap mistis bisa jadi dianggap sebagai hal aneh atau mengganggu.
"Kalau Anda tinggal di New York pasti beda. Karena di sana enggak percaya hal mistis, Anda mungkin dianggap aneh di sana," kata Slamet.
Slamet juga mengungkap hipotesanya terkait relasi antara genre horor dan masyarakat Indonesia. Ia menduga, jangan-jangan genre horor itu adalah film asli Indonesia dan mencerminkan masyarakat itu sendiri.
"Jadi kalau kita selidiki, jangan-jangan film horor itu adalah asli Indonesia. Jadi kenapa horor itu sering digandrungi, orang berbondong-bondong menonton, karena itu adalah makanannya. Ibaratnya hanya orang Minang yang doyan sekali rendang, hanya orang Makassar yang suka sekali coto, dan hanya yang percaya mistis yang suka film horor," jelas Slamet.
Slamet kemudian juga mengkritisi beberapa film horor yang menurutnya berpotensi merusak budaya dan kepercayaan. Di film horor populer KKN di Desa Penari, kata Slamet, sosok penari tersebut diidentikan dengan hal mistis. Padahal pada kenyataannya, banyak sekali penari yang tidak terkait dengan hal mistis.
Selain film KKN di Desa Penari, Slamet juga mengkritisi film Makmum yang menurutnya cenderung mengeksploitasi agama. "Film KKN itu ada adegan penari yang seperti setan, aduh kok gini kata saya. Terus juga ada film horor yang sholat terus ada makmumnya setan. Jangan begitulah, jangan merusak budaya dan kepercayaan," ujar Slamet.