REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menilai pengembangan riset menjadi kunci untuk menghadapi kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit Indonesia.
Di tengah maraknya kampanye negatif yang kerap menuduh sawit sebagai penyebab deforestasi dan kerusakan lingkungan, Eddy menegaskan bahwa sebenarnya kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan dengan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
“Pemerintah tetap menempatkan kelapa sawit ini menjadi komoditas unggulan. Tadi sudah disampaikan (kelapa sawit) penyumbang PDB yang cukup besar, kemudian penyedia tenaga kerja yang sangat besar sampai 16 juta (pekerja) dan juga menjadi tulang punggung bukan hanya pengusaha tapi terutama lagi adalah para pekebun atau rakyat kita,” kata Eddy dalam acara Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis.
Diketahui berdasarkan data Kementerian Keuangan, sektor sawit di Indonesia telah melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja.
Sektor ini juga telah mendorong Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor perkebunan pada angka yang positif di kuartal II 2024 di level 3.25 persen.
Pemerintah telah lama mengimplementasikan praktik perkebunan berkelanjutan. Salah satu langkah yang telah dilakukan yakni melalui skema sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diperkenalkan sejak 2011 dan kini terus diperbarui.
“Kita sudah memperkenalkan ISPO dari tahun 2011 dan kita akan memperbarui lagi yang sebelumnya sertifikat keberlanjutan itu di hulu, nanti sampai ke hilir,” jelasnya.
Lewat pengembangan riset, BPDPKS secara aktif mendanai dan memfasilitasi presentasi hasil riset yang bekerja sama dengan lembaga penelitian untuk terus menghasilkan inovasi baru.
“Nah pekan riset sawit ini (PERISAI) tadi tujuannya antara lain adalah untuk mendiseminasikan, menyebarluaskan hasil-hasil riset yang didanai oleh BPDPKS sehingga masyarakat umum, stakeholder pada umumnya itu nanti bisa mengetahui hasil-hasil riset yang telah kita kembangkan dari tahun ke tahunnya," ujar Eddy.
Selain itu, penyelenggaraan pekan riset secara tahunan ditujukan guna mempertemukan para peneliti dengan pelaku industri. Pertemuan itu diharapkan mampu mengkomersialisasi hasil riset.
"Jadi hasil-hasil riset itu tidak hanya sekedar nanti ditumpuk, ditaruh sebagai dokumen begitu saja, tetapi harus bisa dimanfaatkan, terutama yang untuk mendukung hilirisasi melalui program-program komersialisasi kita. Ini salah satu tujuan daripada pekan riset yang setiap tahun dilakukan oleh BPDPKS,” terangnya.
Sebagai informasi, gelaran PERISAI 2024 juga dimeriahkan dengan kegiatan Lomba Riset Sawit Tingkat Mahasiswa yang diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sepuluh finalis terbaik berkesempatan untuk mempresentasikan hasil riset mereka di hadapan dewan juri. Kompetisi ini diharapkan dapat menumbuhkan minat penelitian di kalangan mahasiswa serta memperkuat fondasi industri kelapa sawit berbasis riset di masa depan.
Lebih lanjut dari segi regulasi, Eddy menyampaikan bahwa pemerintah memperkuat daya saing industri sawit dengan menurunkan pungutan ekspor sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024.
Dirinya juga menyoroti upaya Indonesia dalam melawan kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif terhadap produk kelapa sawit.
Saat ini Komisi Uni Eropa berpotensi menangguhkan implementasi EUDR selama satu tahun. Momentum itu dapat dimanfaatkan Indonesia untuk memperbaiki ketelusuran produk sawit serta peremajaan perkebunan sawit.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengatakan bahwa pihak yang menolak penerapan EUDR bukan hanya Indonesia, melainkan juga banyak pihak di negara-negara Eropa sendiri menolak adanya regulasi tersebut.
Salah satunya, Kanselir Jerman Olaf Scholz yang meminta agar EUDR ditangguhkan. Banyak dari para pengusaha Eropa yang juga menilai diskriminasi dari regulasi anti-deforestasi dapat merugikan bisnis mereka.
"Sebenarnya kita tidak terlalu khawatir juga ya, cuma karena masalah timing-nya ini kan diterapkan, ya berarti kan ada sedikit jeda lah. Jadi, kita dengan penundaan setahun ini, mereka menunjukkan good will juga mendengar posisi negara-negara produsen," ucapnya.