REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 10 juta hektare hutan tropis di Indonesia terancam ekspansi energi berbasis biomassa kayu, menurut laporan baru yang dirilis saat KTT ASEAN. Laporan berjudul "Unheeded Warnings: Forest Biomass Threats to Tropical Forests in Indonesia and Southeast Asia", yang disusun tujuh organisasi lingkungan seperti Earth Insight dan Forest Watch Indonesia, menunjukkan dampak serius permintaan kayu untuk energi di kawasan ini.
“Kebijakan dan subsidi dari Indonesia, Jepang, serta Korea Selatan mendukung solusi iklim palsu yang dapat memicu deforestasi besar-besaran dan degradasi hutan,” kata tujuh organisasi masyarakat sipil dalam pernyataan gabungan mereka, Kamis (10/10/2024).
Laporan ini mengungkapkan bahwa lebih dari 10 juta hektare hutan tropis, termasuk 127 Kawasan Keanekaragaman Hayati Penting, berisiko hancur akibat permintaan yang tinggi akan pelet kayu untuk pembangkit listrik di Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia. Sekitar 4,1 juta hektare habitat orangutan juga berada dalam bahaya akibat pabrik serpihan kayu dan co-firing.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa lebih dari seribu hektare hutan primer di Indonesia telah ditebang untuk memenuhi ekspor pelet kayu ke Korea Selatan dan Jepang. Investigasi lapangan di Gorontalo bahkan menemukan adanya penentangan dari masyarakat lokal terhadap industri ini.
Indonesia memproyeksikan penggunaan biomassa kayu sebesar 19,7 TWh pada 2025, sebagian besar berasal dari co-firing di pembangkit batu bara. Namun, rencana ini diperkirakan mempercepat deforestasi hingga 2,1 juta hektare per tahun.
Korea Selatan dan Jepang telah menjadi konsumen terbesar pelet kayu Indonesia, dengan kedua negara tersebut membeli lebih dari 99 persen ekspor Indonesia. Subsidi energi terbarukan di kedua negara tersebut telah mendorong peningkatan produksi pelet kayu di Asia Tenggara, yang secara langsung terkait dengan kebijakan energi terbarukan mereka.
Para ahli memperingatkan bahwa pembakaran kayu untuk energi tidak hanya meningkatkan emisi karbon tetapi juga menunda pemulihan iklim. "Pengembalian utang karbon"—waktu yang dibutuhkan hutan untuk menyerap kembali emisi—dapat memakan waktu hingga 115 tahun, sementara kerusakan pada hutan tropis bisa berdampak jangka panjang.
“Pembakaran biomassa jelas merupakan solusi energi yang salah,” kata Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara. “Deforestasi untuk perkebunan baru dan ekspor kayu menimbulkan ancaman ganda bagi Indonesia.”
Kebijakan energi berbasis biomassa dianggap sebagai ancaman besar bagi hutan yang tersisa di Indonesia dan masyarakat lokal. Para aktivis lingkungan menyerukan penghentian subsidi untuk energi berbasis biomassa dan mendorong investasi pada energi terbarukan yang lebih berkelanjutan seperti angin dan surya.