Senin 14 Oct 2024 10:42 WIB

Gapki Segera Menghadap Prabowo Bahas Kabar Belum Bayar Pajak Rp 300 Triliun

Hashim mengungkapkan temuan kebocoran penerimaan negara mencapai Rp 300 triliun.

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022).
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah terkait tudingan adanya pengusaha sawit nakal yang merugikan keuangan negara hingga Rp 300 triliun.

Menyikapi kabar itu, mereka berharap segera bisa menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan berbagai potensi hingga dugaan kebocoran keuangan di industri kelapa sawit.

Baca Juga

Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, ingin bisa diterima Prabowo untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya hingga muncul isu yang mengejutkan tersebut. Dia menegaskan, industri sawit mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini.

"Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Terpilih Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri," kata Eddy Martono dalam siaran pers di Jakarta, Senin (14/10/2024).

Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Kemudian, terbit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut, pemerintah membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.

Dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja, dijelaskan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun. Ada pula Pasal 110B berisi ketentuan, perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.

Eddy menjelaskan, sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di Pasal 110A, sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Hampir 90 persen lebih perusahaan sudah membayar," ujarnya. Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di Pasal 110A.

Dia menyebut, luas lahan sawit yang masuk dalam katagori Pasal 110A sekitar 700 ribu hektare. Sedangkan untuk yang masuk katagori Pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK. "Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda adminstrasinya akan memperjelas semuanya," jelas Eddy.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement