Rabu 16 Oct 2024 07:51 WIB

Kala Resolusi 181 Berbalik Menggigit PBB

Israel kini menjadi monster yang merongrong bidannya.

Sidang Umum PBB terkait rencana pemisahan Palestina yang melahirkan Resolusi 181 pada November 1947.
Foto: Public Domains
Sidang Umum PBB terkait rencana pemisahan Palestina yang melahirkan Resolusi 181 pada November 1947.

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pada Selasa kemarin, percakapan baru-baru ini antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Israel Benjamin Netanyahu dilansir. Keduanya saling serang dengan kata-kata terkait keputusan Macron menghentikan bantuan senjata untuk Israel sehubungan agresi brutal negara Zionis itu ke Jalur Gaza.

Baca Juga

Macron juga secara terbuka meradang dengan sikap Israel yang kian kemari makin bermusuhan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Netanyahu tidak boleh lupa bahwa negaranya dibentuk berdasarkan keputusan PBB,” tulis the Times of Israel.

Pernyataan tersebut mengacu pada resolusi yang diadopsi pada November 1947 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai rencana untuk membagi Palestina menjadi negara-negara Yahudi dan Arab yang terpisah.

Pemisahan itu seturut berakhirnya mandat Inggris di wilayah Palestina yang disertai kampanye masif oleh Zionis di Eropa dan Amerika Serikat untuk pembentukan negara Yahudi. Warga Palestina dan tetangga-tetangga Arab-nya menolak rencana pemisahan tersebut.

Menengok perimbangan demografi dan kepemilikan lahan saat itu, pembagian oleh PBB memang tak adil. Kala itu, etnis Yahudi hanya menguasai sekitar 7 persen lahan di Palestina secara sah. Mereka juga hanya sekitar 30 persen dari total populasi. Namun, wilayah yang dialokasikan PBB untuk negara Yahudi di wilayah Palestina sebanyak 56 persen. Pembentukan negara Israel juga akan mengusir 85 persen warga Arab yang tinggal di wilayah-wilayah yang bakal diduduki Zionis.

Sementara para pemimpin Zionis seperti Chaim Weizmann dan David Ben-Gurion menerima pemisahan oleh PBB dengan niat yang tak tulus. Catatan Kongres Zionis dan surat-surat Ben Gurion mengungkapkan bahwa penerimaan itu hanya sementara sebagai langkah untuk menduduki Palestina sepenuhnya.

Laporan the New York Times pada 27 November 1947 menuliskan bahwa 57 anggota PBB dijadwalkan melakukan pemungutan suara atas rencana pemisahan yang tak adil itu pada 26 November 1947. Jadwal itu kemudian ditunda tiga hari untuk memberikan kesempatan bagi kelompok Zionis melobi AS untuk menekan negara-negara yang menolak. Hal ini sebab menurut perhitungan mereka, syarat penetapan resolusi tak akan tercapai bila voting digelar pada tanggal itu.

Presiden AS Harry S Truman mengakui gencarnya lobi Zionis kala itu. “Faktanya adalah bahwa tidak hanya terdapat gerakan-gerakan tekanan di sekitar PBB yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun Gedung Putih juga terus-menerus menjadi sasaran serangan. Saya rasa saya belum pernah mengalami tekanan dan tekanan sebanyak itu serta propaganda yang ditujukan ke Gedung Putih seperti yang saya alami dalam kasus ini. Kegigihan beberapa pemimpin ekstrim Zionis—yang digerakkan oleh motif politik dan terlibat dalam ancaman politik—mengganggu dan membuat saya kesal,” tulisnya dikutip George Lenczowski dalam bukunya American Presidents and the Middle East (1990).

Prancis juga jadi sasaran tekanan tersebut. James Barr dalam A Line in the Sand: Britain, France and the Struggle that Shaped the Middle East (2012) menjelaskan teperinci upaya Zionis tersebut. 

Sesaat sebelum pemungutan suara, delegasi Prancis untuk PBB dikunjungi oleh Bernard Baruch, seorang Yahudi Amerika pendukung Partai Demokrat dan teman dekat Presiden Truman. Ia juga pendukung kelompok teror Zionis, Irgun, yang kerap melakukan pembersihan etnis Palestina.

Saat itu, Baruch mengancam bahwa rencana bantuan Amerika kepada Prancis, yang sangat dibutuhkan untuk rekonstruksi selepas Perang Dunia II, akan dibatalkan jika menolak resolusi pemisahan Palestina. Israel yang saat itu masih menjajah sejumlah wilayah Muslim di Afrika Utara sedianya enggan menerima resolusi karena mengkhawatirkan pemberontakan di negara jajahan. Namun, setelah mempertimbangkan bahaya jika bantuan Amerika dibatalkan, Prancis akhirnya menyetujuinya. 

Pada 29 November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan suara 33 berbanding 13, dengan 10 abstain dan 1 abstain, mendukung Rencana Pemisahan yang dimodifikasi. Lahirlah kemudian Resolusi 181 Majelis Umum PBB yang menyetujui pembentukan negara Israel dan Palestina.

photo
Rencana pemisahan Palestina yang dirancang PBB. - (Public Domains)

Di Palestina, kelompok-kelompok teror Zionis seperti Irgun dan Lehi langsung melakukan pembersihan etnis mengetahui resolusi tersebut. Desa-desa Arab dikepung, dijarah, dibakar. Penduduknya diintimidasi dan dibunuh agar menyingkir. Pada akhirnya, Israel dideklarasikan pada 1948 bersamaan dengan operasi pembersihan etnis yang dinamai Rencana Daleth tersebut. Sedikitnya 750 ribu warga Palestina terusir dan penjajahan Israel masih berlangsung hingga kini.

Bandelnya Israel...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement