REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Survei yang dilakukan LSI Denny JA menemukan terjadi pertarungan sengit antara Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) dan PDI Perjuangan di Pilkada Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Pasangan yang didukung KIM Plus unggul di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi mereka bersaing ketat dengan pasangan yang didukung PDIP di DKI Jakarta.
Peneliti LSI Denny JA, Sunarto, mengatakan, Di Jawa Tengah, pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin memimpin dengan elektabilitas 46%. Sementara pasangan lawannya, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi meraih 28,2%. Sebanyak 25% responden belum menentukan pilihan.
Di Jawa Timur, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak unggul signifikan dengan perolehan 65,8%. Posisi kedua ditempati pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta dengan 24,5%, sementara pasangan Luluk Nur Hamidah Lukmanul Hakim memperoleh 1%. Sisanya, 8,7%, belum menentukan pilihan.
Situasi di DKI Jakarta, menurut Sunarto, lebih kompetitif. Pasangan KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono mendapat elektabilitas 37,4%. Angka ini sedikit unggul dari pasangan PDIP, Pramono Anung-Rano Karno (Si Doel) yang memperoleh 37,1%. Pasangan independen, Dharma PongrekunKun Wardana meraih 4,0%, sementara 21,5% responden belum menentukan pilihan.
Survei LSI Denny JA ini dilakukan pada 16-22 Oktober 2024 di tiga provinsi: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Survei ini menggunakan metode Multi Stage Random Sampling, melibatkan wawancara tatap muka dengan 800 responden di masing-masing provinsi dan memiliki margin of error sekitar plus-minus 3,5%.
Mengenai Ridwan Kamil-Suswono, yang tidak unggul signifikan di DKI Jakarta, menurut Sunarto, disebabkan mesin partai KIM Plus kurang efektif di Jakarta. “Banyak pemilih PKS, Golkar, PKB, Demokrat, PPP, dan Nasdem cenderung memilih pasangan Pramono Anung-Rano Karno daripada pasangan yang diusung partai mereka sendiri,” kata Sunarto, dalam siaran pers, Rabu (30/10/2024).
Sebaliknya, PDIP lebih solid karena mayoritas anggotanya mendukung pasangan ini. Kata Sunarto, ini menjadi pekerjaan besar bagi Ridwan Kamil - Suswono. “Mengapa pemilih dari partai pengusungnya sendiri, Golkar (Ridwan Kamil) dan PKS (Suswono), lebih banyak memilih Pramono dan Rano Karno. Ada jarak yang lebar antara keputusan elit partai dan massa partai,” ungkapnya.
Penyebab lainnya, menurut Sunarto, Ridwan Kamil-Suswono kurang diterima komunitas Betawi. Rano Karno dengan kisah “Si Doel” lebih menempel di memori pemilih Betawi.
“Ketiga, popularitas Ridwan Kamil sebanding dengan Rano Karno, dengan angka 97% bagi keduanya, yang berarti tidak ada keunggulan signifikan dalam hal pengenalan figur. Untuk kasus Jakarta, Cagub Pramono banyak didongkrak oleh Cawagubnya,” kata dia.
Kondisi Pilkada DKI Jakarta ini berbeda dengan psangan yang didukung KIM Plus di Jawa Timur. Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak unggul signifikasi atas lawannya.
Hal ini disebabkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Khofifah sebagai gubernur incumben mencapai 88,1%. “Semua petahana selalu punya peluang untuk menang kedua kalinya, kecuali jika kinerjanya buruk,” kata Sunarto. Selain itu, lanjutnya, popularitas Khofifah mencapai 98%, jauh di atas Tri Risma yang berada di angka 73,5%.
Risma memang menjadi tokoh nasional dengan menjadi menteri di era Jokowi. Ia juga pernah menjadi wali kota Surabaya. Namun, provinsi Jatim memiliki 29 kabupaten dan 9 kota. Surabaya hanya sebagian kecil dari Jawa Timur. Khofifah sebagai petahana gubernur sudah menjelajah lebih jauh di teritori Jatim secara keseluruhan.
“Ketiga, mesin politik KIM Plus terlihat lebih solid di Jawa Timur karena basis pemilih partai mengikuti arahan koalisi. Selain itu, pasangan Khofifah-Emil juga mendapat limpahan dukungan dari pemilih PDIP dan PKB,” ungkapnya.