REPUBLIKA.CO.ID, MACAU -- Bagaimana memposisikan AI dalam pendidikan tinggi menjadi tema QS Higher Ed Summit: Asia Pacific 2024 di Macau University of Science and Technology (MUST), Macau SAR, Cina.
Memasuki hari terakhir, tema Ethical AI in Education: New Technologies Responsible Integration and Student Engagement mendapatkan tanggapan dari tiga delegasi UMS : Rois Fatoni, S.T., M.Sc.,Ph.D., kemudian Fajar Suryawan, Ph.D dan Dr., Umi Budi Rahayu, SSTFT.,M.Kes yang bergabung dalam acara tahunan QS itu.
Dekan Fakultas Teknik UMS, Rois Fatoni, S.T., M.Sc., Ph.D mengungkapkan, teknologi AI, terutama generative AI seperti Chat GPT, membuat insan pendidik terutama di pendidikan tinggi harus memikirkan kembali business process pendidikan tinggi. Beberapa bahkan melihatnya sebagai ancaman, dan memprediksi matinya pendidikan tinggi.
"Namun, sebenarnya AI hanyalah tools, alat yang membantu manusia melakukan aktivitasnya," papar Rois, Kamis (7/11/2024).
Seperti zaman dulu, lanjut dia, ketika ditemukan mobil, pesawat, yang bisa mengantarkan manusia ke tempat tempat yang jauh. Bukan berarti kemudian manusia tidak lagi membutuhkan kaki untuk mengantarkan mereka ke mana mana. Tetap saja manusia membutuhkan kaki.
"Demikian juga dengan AI. AI hanyalah tools yang sesungguhnya membantu dosen dalam tugas mereka," katanya.
Keberadaan AI, menurutnya, justru membuat mahasiswa belajar, how to make student learn. Dengan AI, bukan berarti anak anak kita tidak lagi perlu kuliah di perguruan tinggi. Justru sebaliknya, pendidikan tinggi menjadi lebih menyenangkan sebab ada tools baru yang membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan bervariasi.
Pada bagian lain, Fajar Suryawan, Ph.D., mengungkapkan bahwa generative AI (AI yang dapat membuat artefak yang umumnya hanya dapat dibuat oleh manusia, seperti percakapan interaktif, teks puisi, prosa, artikel penelitian, lukisan, foto, video) mempunyai dampak disruptif pada pendidikan.
"Sisi positifnya cukup jelas, yakni siswa bisa belajar lebih mudah, lebih cepat, dan mungkin bahkan lebih berkualitas," kata Fajar yang juga Ketua Delegasi UMS itu.
Namun dampak negatifnya juga cukup menantang, lanjutnya, yakni siswa bisa mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dengan meminta bantuan AI.
"Solusinya bukanlah mendeteksi ini dikerjakan oleh siswa sendiri, ataukah ini dikerjakan oleh AI," katanya.
Namun solusinya, menurutnya, lebih kepada memberi motivasi dan kesadaran bagi siswa bahwa motivasinya seharusnya menjadikan AI untuk menjadi lebih pintar, bukannya menggunakan AI untuk sekedar mengumpulkan tugas. Institusi pendidikan harus juga memasukkan AI ke dalam kurikulum dan mendidik siswa bagaimana cara belajar ‘learning to learn’.
Adapun, Dekan Ilmu Kesehatan UMS, Dr., Umi Budi Rahayu mengatakan, sebenarnya beberapa hal harus dilihat untuk reputasi universitas, yaitu bagaimana perguruan tinggi mempersiapkan lulusan yang adaptif dan diterima dalam menghadapi tantangan global.
"Setidaknya harus dipersiapkan bagaimana mendesain kurikulum yang mencakup penguasaan digital, teknologi AI, dan economy green," jelasnya.
Menurut dia, penting juga pada akhirnya universitas mampu menghadirkan inovasi - inovasi yg diperlukan pengguna.