REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Ibrahim AS merupakan leluhur bangsa semit, yang di dalamnya termasuk anak keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Yang pertama itu menurunkan bangsa Arab, sedangkan yang lain menghasilkan Bani Israil atau bangsa Yahudi.
Sejak puluhan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab hidup dalam kondisi geopolitik yang "terjepit." Jazirah Arab diapit dua adidaya, yakni Romawi yang berkiblat pada Nasrani dan Persia yang Majusi.
Dalam kondisi demikian, jejak-jejak ajaran tauhid Nabi Ibrahim kurang menonjol di Hijaz. Elite yang memegang kendali seutuhnya atas Kota Makkah justru condong pada paganisme.
Alhasil, Ka'bah atau Baitullah justru menjadi tempat banyak berhala. Syariat haji melenceng dari ketentuan yang digariskan sejak Nabi Ibrahim AS.
Sebagai contoh, pada masa jahiliyah itu, orang-orang musyrik melakukan tawaf dengan bersorak-sorai dan bahkan dalam keadaan telanjang.
Meskipun risalah Alquran belum tiba (bahkan Nabi Muhammad SAW belum lahir), banyak sosok yang setia pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim AS.
Di antara mereka adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Ubaid bin al- Abrash al-Asadi, dan Kaab bin Luay bin Ghalib al-Quraisy--salah seorang kakek Rasulullah SAW. Mereka dan para pengikutnya menjalankan syariat Nabi Ibrahim AS.
Misalnya adalah berhaji dengan semestinya ke Baitullah, mandi ketika junub, berkhitan, dan berkurban hanya untuk Allah SWT. Mereka tidak mau memakan daging kurban yang diperuntukkan berhala.