REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Silvy Dian Setiawan
‘Tiap ganti menteri, ganti kurikulum’. Kata-kata ini sering diucapkan ketika pemerintahan baru mulai bekerja. Namun, ganti menteri, maupun ganti kurikulum, pendidikan Indonesia begitu-begitu saja, tidak berubah signifikan.
Hal ini disampaikan seorang guru yang mengajar di salah satu SMK di Kecamatan Jambu, Semarang, Jawa Tengah, Muhammad Ali Sodikin (43 tahun). Ali melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini masih jauh dari harapan.
Kualitas pendidikan masih jauh dibandingkan negara maju, guru masih banyak yang terjebak dalam formalitas, pendidikan yang berorientasi pada menghasilkan angka-angka yang tinggi yang terlihat di atas kertas seolah anak hanya menjadi produk dari sistem pendidikan.
Persoalan itu hanya sepersekian masalah yang ada di pendidikan Indonesia saat ini. Ali menggambarkannya sebagai dunia pendidikan saat ini berada di persimpangan berbahaya. Ali menyebut, pergantian kurikulum tidak serta merta akan mengubah kualitas pendidikan menjadi lebih baik jika persoalan yang mendasar di dunia pendidikan tidak diselesaikan.
Berapa kali pun ganti kurikulum, katanya, pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Meski, Ali tidak menampik bahwa kurikulum yang dibuat tentu untuk menjadikan kualitas pendidikan menjadi lebih baik.
“Kurikulum Merdeka misalnya, dalam eksekusinya banyak miskonsepsi terhadap kurikulum itu. Banyak yang target-target angka, dan untuk memenuhi angka itu penuh dengan manipulasi, yang penting angkanya tercapai, sehingga yang membuat program itu senang, padahal apa yang terjadi di bawahnya tidak seperti itu,” kata Ali yang merupakan guru di SMK Negeri 1 Jambu tersebut kepada Republika, Selasa (26/11/2024).
“Sebenarnya kurikulum mau berubah berapa kali pun, akan begitu saja. Karena kurikulum sejati itu, ya guru itu sendiri, dia jadi modal dan contoh bagi anak-anak. Karena hasilnya masih seperti ini berapa kalipun kurikulum ganti,” ucapnya yang sudah menjadi guru sejak 2005 itu.
Ali melihat masih banyak guru atau pendidik yang hanya sekadar mentransfer pengetahuan kepada anak, mementingkan angka-angka yang tinggi yang tertulis di atas kertas. Padahal, hubungan guru dan anak tidak hanya terbatas pada tembok-tembok akademik, namun lebih dari itu.
Menurutnya, guru-guru masih banyak yang berfokus pada konten pengetahuan atau materi. Padahal, seharusnya guru fokus pada membangun manusianya dalam hal ini anak didik.
“Harusnya kita fokus pada manusianya, bagaimana manusia ini bisa berempati, bagaimana anak ini bisa menghargai orang lain, dan ide-ide orang lain itu lebih bisa dihargai, dan itu tidak terjadi di Indonesia,” jelas Ali.