Selasa 03 Dec 2024 16:57 WIB

Dipicu Perubahan Iklim, Longsor di Uganda Timbulkan 28 Korban Jiwa

Lebih dari 100 orang masih dinyatakan hilang.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Kondisi longsor di Distrik Bulambuli, Uganda, 29 November 2024.
Foto: REUTERS/Abubaker Lubowa
Kondisi longsor di Distrik Bulambuli, Uganda, 29 November 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Korban jiwa akibat longsor di Uganda bertambah menjadi 28 orang. Terbaru, Kepolisian Uganda mengungkapkan bahwa dua jenazah anak laki-laki berusia 3 tahun berhasil ditarik keluar dari lumpur longsor di timur negara itu,.

Longsor di lereng Gunung Elgon, gunung berapi yang sudah punah di perbatasan dengan Kenya, sekitar 300 kilometer sebelah timur ibu kota, Kampala pada Rabu (30/11/2024) lalu menewaskan 17 orang. Sejak saat itu jumlah korban jiwa terus bertambah.

Baca Juga

Sementara, lebih dari 100 orang masih dinyatakan hilang. Di media sosial X, Rabu (3/12/2024) Kepolisian Uganda mengatakan dua anak yang berhasil dikeluarkan dari timbunan lumpur pada Rabu ini termasuk 28 korban jiwa. Tapi polisi tidak memberikan keterangan lebih lanjut.

Sejak bulan Oktober, hujan lebat yang tidak biasa memicu banjir dan tanah longsor yang meluas di beberapa daerah di Uganda. Palang Merah Uganda mengatakan peristiwa cuaca ekstrem ini dipicu perubahan iklim.

Hujan deras meluapkan sungai-sungai, membanjiri sekolah dan gereja, menghancurkan jembatan, dan mengisolasi masyarakat. Militer dikerahkan untuk membantu upaya pencarian dan pemulihan.

Pekan lalu, pasukan pertahanan Uganda mengatakan mereka mengerahkan dua kapal dalam operasi untuk menyelamatkan sebuah taksi yang terjebak di jembatan dekat kota Pakwach. Salah satu kapal terbalik dan seorang insinyur tewas.

Pada Kamis (1/12/2024) lalu di parlemen, ketua parlemen, Anitah Among menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban yang kehilangan nyawa dalam banjir di seluruh negeri.

Daerah di sekitar lokasi tragedi pekan lalu sudah beberapa kali mengalami longsor yang mematikan. Salah satunya longsor pada tahun 2010 yang menewaskan sedikitnya 80 orang.

Salah satu alasan mengapa warga enggan untuk pindah, wilayah pegunungan ini memiliki tanah yang subur sehingga baik untuk pertanian, di samping keterikatan mereka dengan tanah leluhur mereka. Namun, menurut Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, pada tahun ini saja, curah hujan yang tinggi, banjir, dan tanah longsor memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement