Dulu namanya Kelurahan Kapuk. Kemudian dipecah menjadi Kelurahan Kapuk Muara di Jakarta Utara dan Kelurahan Kamal Muara di Jakarta Barat. Kelurahan Kapuk Muara sekarang menjadi kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK).
Nama Kapuk ini ternyata bukan berasal dari nama buah randu, kapuk, melainkan dari kata kapok. “...para pendatang baru yang menetap di daerah ini pasti akan kapok (kecewa atau jera),” tulis buku Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Di Kelurahan Kapuk ada Kampung Kayu Besar yang pada 1979 menjadi wilayah RW 04. Di tengah kampung ada pohon besar, berlumut, yang dianggap angker.
Mereka yang bertahan di Kapuk terseleksi dengan sendirinya oleh keadaan. Sebab menurut cerita lisan yang ada di sana, banyak pendatang baru yang jatuh sakit lalu meninggal atau menjadi gila.
Kini, yang tinggal di Pantai Indah Kapuk (PIK) terseleksi oleh harga hunian yang mahal. Kini, warga tak kapok menuntut pengembang untuk menghentikan proyek PIK2 di wilayah Tangerang setelah ada kejadian truk proyek menabrak anak.
Pohon besar di Kampung Kayu Besar itu disebut-sebut berasal dari dua buah pohon yang tumbuh menjadi satu. Empat orang dewasa yang membentangkan tangan, tak cukup untuk merangkul separuh lingkar batang pohon itu.
Di bawah pohon besar itu sering diadakan selamatan. Seekor kambing dipotong untuk selamatan itu, agar makhluk halus penghuni pohon itu tidak mengganggu masyarakat.
“Setiap tahunnya ada upacara selamatan sedekah bumi, yang dilakukan agar mereka terhindar dari penyakit, agar pertanian mereka mendapat hasil yang baik, dan sebagainya,” tulis buku Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Pada tahun 1970-an, warga Kapuk bertani dengan menanam pusang, papaya, singkong, jambu, melinjo, jagung, kangkung, genjer, bayam, selada, terong, cabai, dan lain-lain. Mereka menjualnya di Cengkareng dan Grogol, dibawa dengan pikulan.
Berjalan melalui jalan setapak, banyak sayur yang sudah layu sesampai di pasar di Cengkareng dan Grogol. Pada 1970-an itu, ada juga warga yang menjadi buruh pabrik, menjadi pedagang keliling menjual ikan yang mereka beli dari pasar ikan.
Khusus warga Kampung Kayu Besar, yang menjadi petani pada tahun 1979 mencapai 50 persen. Buruh 26 persen, pegawai 15 persen, pedagang enam persen, pengusaha dua persen. Lain-lain ada satu persen.
Tentu saja, pada tahun itu, mereka sudah tidak lagi mengadakan selamatan sedekah bumi di bawah pohon besar. Pohon itu sudah lama tumbang.
Suatu hari, dukun di kampung itu sedang berteduh di bawah pohon karena hujan. Ia didatangi seorang kakek pengembara, yang lalu ia ajak menginap ke rumah.
Tapi si kakek itu tidak mau mandi. Ia malah mengacungkan tangannya, sehingga jarinya yang rata terlihat, lalu memberi tahu bahwa pohon besar akan tumbang. Sekejap kemudian si kakek menghilang.
Pohon itu memang roboh, batangnya terbelah menjadi empat, tumbang ke empat arah mata angin. Selamatan sedekah bumi tetap diadakan meski pohon besar itu sudah tumbang, dan baru hilang setelah kemerdekaan.
Warga Kampung Kayu Besar, Kelurahan Kapuk, pada 1979 menanak nasi menggunakan tungku. Rak piring dibuat dari bambu, tempayan dari tanah liat, tapi ada juga yang sudah menggunakan tempayan plastik.
Mereka tidak akan kapok untuk tidur di bale-bale yang dibuat dari bambu. Alasnya tikar, kalau ada yang punya kasur, kasurnya sudah lusuh.
Kursi dan meja dibuat dari kayu dan bambu. Kini, tentu saja tak ada lagi rumah di PIK dan PIK2 yang penghuninya tidur di bale-bale bambu.
Ada juga warga yang sudah memakai jok plastik. Ayunan bayi dari kain yang digantungkan di langit-langit rumah.
Kini, bambu-bambu itu, kata warga Teluknaga, Tangerang, digunakan oleh pengembang untuk memagari laut di proyek PIK2 di wilayah Tangerang. Warga yang menjadi nelayan pun tidak bisa melaut karena terhalang oleh pagar-pagar bambu itu.
Lahan pertanian pun terancam beralih menjadi areal permukiman mewah. Gerakan menuntut pemerintah agar status PSN untuk PIK2 dibatalkan terus menggema.
Para menteri juga menyebut PIK2 tidak termasuk program prioritas Presiden Prabowo yang layak dijadikan PSN.
Priyantono Oemar