Senin 23 Dec 2024 05:30 WIB

Baku Lempar Bola Tarif PPN 12 Persen, Begini Catatan Rapat di DPR

Pembahasan revisi UU perpajakan di DPR tergolong kilat dan hanya ditolak PKS.

Sejumlah orang melakukan demonstrasi menolak kenaikan tarif PPN di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah orang melakukan demonstrasi menolak kenaikan tarif PPN di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Polemik kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membuat sejumlah politikus saling melempar bola panas. Bagaimana ceritanya kenaikan tarif itu masuk ke dalam regulasi pajak? Republika menelusuri rekaman laporan rapat di DPR terkait beleid tersebut. 

Baca Juga

Untuk ukuran regulasi sekaliber UU Nomor 7/2021 itu, masa pembahasannya di DPR tergolong cepat. Hanya butuh sekitar enam bulan sejak draf RUU usulan pemerintah itu dikirim ke DPR hingga akhirnya disahkan menjadi undang-undang.

Rencana pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen sudah muncul dalam draf paling awal dari regulasi tersebut yang dikirimkan ke DPR pada 5 Mei 2021. Saat mula-mula masuk DPR, draft beleid itu masih berjudul RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Draf itu datang bersamaan dengan surat dari Presiden Joko Widodo agar pembahasannya diprioritaskan.

Disebut dalam Bab IV Pasal 7 ayat 1 RUU itu, “Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 12% (dua belas persen).” Kemudian pada Pasal 7 ayat 3, “Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).”

Ada lagi tambahan rancangan aturan bahwa tarif PPN bisa diterapkan berbeda dari dua nilai tersebut. “Tarif berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen),” bunyi Pasal 7A ayat 2.

Dalam rekaman riwayat rapat di dpr.go.id, rapat pertama regulasi itu dilakukan Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasonna Laoly pada 29 Juni 2021. Rapat kala itu dipimpin Ketua Komisi XI Dito Ganinduto yang berasal dari Fraksi Golkar.

 
photo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) menerima berkas dari anggota Fraksi PDIP Dolfie OFP (kiri) saat rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/12/2022). - (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Dalam rapat secara virtual itu juga disepakati kelanjutan pembahasan RUU perpajakan tersebut. Diputuskan saat itu bahwa Ketua Panitia Kerja (panja) RUU KUP tersebut adalah Dolfie Othniel Fredric Palit, wakil ketua Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan.

Dolfie mulai menjalankan tugasnya sebagai ketua panja dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada 5 Juli 2021 dengan pihak Ditjen Pajak Kemenkeu dan Ditjen Perundang-Undangan Kemenkumham. Panja kala itu mendengarkan paparan pemerintah soal perlunya regulasi pajak yang baru. 

Pembahasan RUU tersebut langsung dikebut keesokan harinya pada 6 juli 2021 dengan mendatangkan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier; serta dua mantan direktur jenderal pajak yakni  Anshari Ritonga dan Hadi Purnomo. Terkait PPN hanya sekali disinggung oleh Fuad Bawazier. 

Masalah jasa tenaga kerja yang tadinya juga itu tidak dikenakan, itu akan dikenakan PPN. Ini saya kira perlu diklarifikasi dengan jelas yang dimaksud dengan jasa tenaga kerja itu supaya lebih dipastikan untuk apa. Jangan sampai kita menjadi semakin tidak kompetitif. dipertimbangkan apakah jasa tenaga kerja benar-benar akan dikenakan PPN,” ujarnya dicatat dalam ringkasan rapat.

Pada 7 juli 2021, panja mendatangkan mantan gubernur BI Darmin Nasution dan pakar perpajakan Darussalam. Dalam rapat itu Darmin mula mewacakan bahwa revisi UU Nomor 6 tahun 1983 sebaiknya menjadi semacam omnibus law perpajakan dengan nama baru yakni RUU Harmonisasi Perpajakan. Usulan ini diamini DPR kedepannya.

Sementara Darussalam memberikan masukannya soal tarif PPN yang belakangan diributkan. “Diskusinya seharusnya research tentang itu, bukan lagi ke kepatutan. Bagaimana jika PPN dinaikkan ke 12%? Bagaimana tarif PPN global? Rata-rata 15,4%, Asia 12%, artinya kita masih punya peluang menaikkan tarif 12%. Ini untuk mengkompensasi penurunan penerimaan dan meningkatkan peluang PPN yang akan lebih diandalkan dibanding PPh,” demikian masukan dari Darussalam seperti terekam dalam laporan singkat RDP pertama itu.

RDP selanjutnya digelar pada 12 Juli 2021 dengan mengundang akademisi Piter Abdullah dan A Prasetyantoko. Soal tarif PPN, Piter Abdullah menyatakan “Perluasan basis PPN yang merupakan tren global yang hendaknya menjadi bagian dari reformasi perpajakan di Indonesia. Kebijakan perluasan basis PPN dapat dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pelaksanaan dan komunikasi yang tepat guna mengurangi dampak negative yang bersifat temporer.

Pada hari yang sama, RDP menghadirkan lembaga think tank perpajakan dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Masing-masing tak menyuarakan secara eksplisit penolakan atas kenaikan PPN menjadi 12 persen, namun meminta hal itu dilakukan secara berhati-hati.

RDP kemudian dilanjutkan dengan mendatangkan kembali sejumlah pakar pada 13 Juli 2021. Yang menonjol dari rapat hari itu adalah kritik terhadap kenaikan PPN yang dilontarkan guru besar ilmu kebijakan pajak Universitas Indonesia Prof Haula Rosdiana. Ia meminta perluasan objek PPN dikaji saksama agar tak menyeret barang konsumsi. Ia juga menyoal bidang pendidikan dan kesehatan yang jadi objek PPN. “Kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Pertimbangkan dampaknya terhadap harga, ekonomi makro, dan policy cost. Memaksakan PPN sebagai instrumen keadilan mempunyai kelemahan juga dampak sosial politik.”

photo
Barang Mewah yang Kena PPN 12 Persen - (Infografis Republika)

Namun pada hari yang sama, panja juga mendapat masukan soal PPN dari Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. “Kalau kita lihat secara umum, tarif PPN di Indonesia memang relatif sangat rendah sekali. Secara regional, rata-rata tarif PPN di OECD sebesar 19,29%, di Afrika sebesar 17,17%, di Latin Amerika 15,33%. Secara umum kita dapat melihat bahwa ada 62 negara dengan tarif PPN yang lebih besar dibanding Indonesia, 7 negara dengan tarif PPN sama, dan 8 negara dengan tarif PPN yang lebih kecil. So, memang sudah sewajarnya ketika pemerintah berencana menaikkan tarif PPN. Di regional Asia Pasifik juga sebagian besar telah menaikkan tarif PPN-nya,” kata dia.

Setelah reses, RDP kembali dilanjutkan pada 24 Agustus 2021 dengan mendatangkan Kamar Dagang Indonesia dan asosiasi dagang lainnya. Rapat itu dinyatakan tertutup untuk umum. Sejumlah rekomendasi Kadin yang dilansir tak menyinggung PPN.

RDP dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga digelar tertutup untuk umum pada 25 Agustus 2021. Namun dalam laporan singkat rapat, Aprindo menolak perubahan pasal soal PPN. Alasan penolakan Aprindo diantaranya terkait daya beli masyarakat, dampak terhadap bahan pokok, serta beban terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hipmi juga mewanti-wanti agar kenaikan tarif PPN tak berdampak kepada pengusaha muda yang baru mulai merintis bisnis. 

RDP kembali digelar pada 27 Agustus 2021. Kali ini yang diundang adalah Kadin, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan sejumlah asosiasi bisnis lainnya. Dalam RDP, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia menolak kenaikan PPN terhadap jasa asuransi karena bertentangan dengan upaya pemerintah meluaskan cakupan asuransi di masyarakat. Sedangkan Indonesia Service Dialogue mengkritisi multi tarif PPN yang dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, juga menolak PPN terhadap jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi publik.

Penolakan juga disampaikan Himpunan Peritel dan Penyewa Jasa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hipmikindo). Mereka juga menolak kenaikan PPN, menilai multi tarif PPN akan memicu banyak sengketa pajak; serta menolak PPN untuk kebutuhan pokok dan jasa pendidikan, kesehatan, dan asuransi.

photo
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan pada layar) menghadiri secara virtual Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Rapat paripurna tersebut ikut mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. - ( ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.)

Pada RDP 2 September 2021, penolakan terhadap kenaikan dan perluasan objek PPN juga dilontarkan oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). HKTI mengritisi bila pertimbangan kenaikan PPN dibandingkan dengan negara-negara maju.

Setelah sejumlah RDP dengan berbagai elemen itu, Komisi XI kemudian menyepakati melanjutkan pembahasan RUU perpajakan itu dengan pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Keuangan dan Kemenkumham pada 13 September 2021.

Pada 15 September, Panja RUU KUP melakukan rapat tertutup dengan pihak Kemenkumham. Rapat pada 16 September 2021 dengan Dirjen Pajak dan Kemenkumham juga dilakukan tertutup. Serangkaian rapat tertutup juga dilakukan dengan dua pihak tersebut hingga akhirnya pada 28 September 2021 “Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Komisi RUU tentang KUP Komisi XI DPR RI dengan Pemerintah telah menyepakati perumusan substansi RUU tentang KUP.

Pada 29 September 2021 kemudian dilakukan RDP antara Komisi XI dengan Menkeu Sri Mulyani dan staf ahli Kemenkumham. Dalam rapat kali itu, disampaikan pandangan masing-masing fraksi terkait RUU KUP. Seluruh fraksi terkecual Fraksi PKS, menyetujui rancangan beleid yang kemudian dinamai Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu untuk dilanjutkan dalam Pembicaraan Tingkat II alias di Rapat Paripurna DPR RI.

Secara resmi dan lebih mendetail, hasil rapat itu dilaporkan oleh Dolfie OFP dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai Ketua Panja RUU KUP pada Sidang Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. RUU tersebut kemudian disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna pada 8 Oktober 2021.

photo
Sejumlah orang melakukan aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025. - (Republika/Prayogi)

Dalam laporan itu, Fraksi PDI tak menyampaikan penolakan terhadap angka kenaikan tarif PPN, namun meminta PPN tak diterapkan pada kebutuhan pokok masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi darat, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial. Sejumlah fraksi lainnya menerima tanpa menyampaikan catatan soal PPN. 

Hanya PKS yang menolak RUU tersebut dengan alasan didalamnya mengatur kenaikan PPN. PKS menilai kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen “kontra-produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. PKS juga menolak kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan jasa layanan keagamaan menjadi Barang/Jasa Kena Pajak.

Dari catatan-catatan rapat tersebut, terlihat bahwa pembahasan soal kenaikan tarif PPN jadi salah satu poin yang paling marak dibahas. Berbagai pihak menyampaikan pandangannya soal pasal tersebut. Artinya, tak mungkin ada anggota panitia kerja yang alpa soal aturan kenaikan tarif PPN tersebut.

Pembahasan regulasi itu di DPR menunjukkan kerja sama erat antara mayoritas fraksi DPR dan pemerintah untuk mengegolkan selekasnya RUU. Pertimbangan dan kritik yang disampaikan banyak pihak dalam RDP soal PPN tak mengubah secara signifikan bunyi pasal yang diusulkan pemerintah dengan yang disahkan DPR.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement